UU Cipta Kerja: 2 Hal yang Harus HRD Lakukan | | HRPODS

UU Cipta Kerja: 2 Hal yang Harus HRD Lakukan

Saat ini, Undang-undang Cipta Kerja “Omnibus Law” masih hangat diperbincangkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Pada 5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan RUU yang mana menjadi fokus dan tujuan periode kepresidenan Joko Widodo. Sebagian besar, khususnya golongan pekerja menanggapinya dengan protes perihal beberapa isi UU tersebut yang dianggap tidak adil.

Menanggapi hal tersebut, HR NOTE bermaksud untuk merangkum informasi perubahan pada sisi ketenagakerjaan yang terjadi dengan adanya UU Cipta Kerja, dan apa yang sebaiknya dilakukan oleh HRD dalam melindungi karyawan-karyawannya.

Disclaimer: draft RUU Cipta Kerja yang digunakan sebagai salah satu sumber informasi pada artikel ini draft adalah yang diserahkan ke Presiden tertanggal 12 Oktober 2020 berhalaman 812. Artikel ini dibuat dalam bentuk rangkuman dan bertujuan dalam memberikan informasi yang lebih mudah dimengerti oleh pembaca tanpa keberpihakan tertentu.

Mari Ingat Kembali, Apa Latar Belakang Diciptakannya UU Cipta Kerja Omnibus Law?

RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya saat menjabat menjadi Presiden R.I. untuk kedua kalinya. Ada tiga hal yang ditargetkan oleh pemerintahan Joko Widodo melalui RUU Cipta Kerja yang ingin diusung, yaitu UU Perpajakan, Cipta Kerja, dan Pemberdayaan UMKM. Selain itu, mengingat arti kata omnibus law itu sendiri, Undang-undang ini nantinya akan mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain.

Mengutip Bab Ketentuan Ayat (1) RUU Cipta Kerja, yang dimaksud Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melalui keterangan resmi yang diterima Bisnis.com mengatakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dilatarbelakangi oleh sejumlah hal penting yang dipikirkan pemerintah pada beberapa waktu sebelumnya.

Pertama, perpindahan lapangan kerja ke negara lain; kedua, daya saing pencari kerja relatif rendah dibanding negara lain. Ketiga, penduduk yang tidak atau belum bekerja akan semakin tinggi; keempat, Indonesia terjebak dalam middle income trap.

Penyusunan UU Cipta Kerja merupakan target pemerintah dalam upaya penciptaan kerja melalui kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan, UMKM, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, serta investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Bagaimana HRD Bersikap Terhadap Perubahan Ini?

Permasalahan yang timbul karena adanya pandemi di Indonesia belum selesai, para praktisi HRD sekali lagi ditantang untung mengayomi pekerja/buruh dengan keluarnya RUU Cipta Kerja ini.

Banyaknya informasi yang tersebar sangat berpotensi membuat karyawan merasa cemas. Maka dari itu, komunikasi adalah kunci penting yang harus digunakan HRD sebaik mungkin dalam menyikapi UU Cipta Kerja. Komunikasi yang baik adalah dengan membuat diskusi ringan dan terbuka dengan karyawan, mengenai hal-hal yang menjadi concern mereka.

Selain itu, HRD perlu bertindak netral dengan tetap melindungi dan mendukung hak-hak karyawan. Bagaimana pun juga, aturan pelaksana masih belum keluar sehingga kita semua masih tidak tahu dengan pasti perubahan seperti apa yang akan terjadi.

Maka dari itu, sangat diharapkan semua praktisi HR dapat terus up to date dengan informasi yang keluar dari situs maupun spokesperson pemerintah.

  • HRD perlu bersikap netral dengan tetap melindungi dan mendukung hak karyawan.
  • Karyawan perlu merasa tenang, maka dari itu diharapkan HRD bersikap komunikatif dan tetap up to date kabar terbaru dari sumber yang terpercaya.

Poin Penting dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law

Rancangan Undang-undang Cipta Kerja membahas beberapa aspek yang dibagi ke dalam beberapa bab di dalamnya. Salah satunya terdapat pembahasan mengenai Ketenagakerjaan yang tentunya akan berpengaruh pada tugas HRD.

Dalam artikel kali ini, kami akan mencantumkan poin penting serta perbandingannya dengan Undang-undang terkait sebelumnya berdasarkan rangkuman dari beberapa media.

Ketenagakerjaan

Poin mengenai Ketenagakerjaan, atau kerap disebut juga klaster Ketenagakerjaan memuat beberapa subklaster seperti waktu istirahat; upah; uang penggantian hak; jaminan sosial; pemutusan hubungan kerja; status kerja; jam kerja; dan tenaga kerja asing.

Waktu Istirahat dan Cuti

1) Istirahat Mingguan 

Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Nomor 13 tentang Ketenagakerjaan berbunyi: “Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”

Sementara dalam RUU Cipta Kerja, Pasal 79 ayat (2) huruf b tersebut mengalami perubahan di mana aturan 5 hari kerja 2 hari libur dihapus, sehingga berbunyi: istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

2) Istirahat Panjang

Dalam Pasal 79 Ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan disebutkan secara jelas bahwa pekerja berhak atas istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing masing satu bulan jika telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama.

Di dalam RUU Cipta Kerja Pasal 79 ayat (5), terjadi perubahan bahwa selain waktu istirahat perhari, perminggu, dan tahunan (cuti tahunan), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Dapat disimpulkan bahwa hak istirahat panjang karyawan tidak lagi wajib didapat, melainkan tergantung dari isi PK, PP, atau PKB yang disepakati.

RANGKUMAN
  1. Mengenai waktu istirahat mingguan, Bab IV “Ketenagakerjaan” Pasal 79 ayat (2) huruf b:

Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

2. Mengenai istirahat panjang, Bab IV “Ketenagakerjaan” Pasal 79 ayat (5):

Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

UPAH

1) Upah satuan hasil dan waktu 

Undang-undang Ketenagakerjaan tidak menjelaskan mengenai upah satuan hasil dan waktu. Sementara, dalam RUU Cipta Kerja, upah satuan hasil dan waktu diatur dalam Pasal 88 B. Dalam ayat (2) pasal 88 B tersebut dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah satuan hasil dan waktu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2) Upah Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota

Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum ditetapkan di tingkat provinsi, kabupaten/kotamadya, dan sektoral diatur lewat Pasal 89 dan diarahkan pada pencapaian kelayakan hidup.

Namun, Omnibus Law Cipta Kerja menghapus pasal tersebut dan menggantinya menjadi Pasal 88 C. Dalam pasal tersebut, upah minimum provinsi ditetapkan Gubernur dengan syarat tertentu, meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. 

Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang diatur dalam Pasal 88 C didasarkan pada data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. 

Ketentuan lanjut mengenai tata cara penetapannya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Poin lainnya, upah minimum kabupaten/kota tetap harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi (tidak berubah dengan isi UU Ketenagakerjaan).

Di samping itu, UU Cipta Kerja juga mencantumkan pasal baru, yakni Pasal 90 B yang mengecualikan ketentuan upah minimum untuk UMKM. Upah pekerja UMKM diatur berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberian kerja sedangkan tata cara lebih lanjut pengaturan upah pekerja untuk UMKM diatur lebih lanjut lewat Peraturan Pemerintah.

UANG PENGGANTIAN HAK

Dalam UU Ketenagakerjaan, Uang Penggantian Hak diatur dalam pasal 156 ayat (4) yang berbunyi :

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas

perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi

syarat;

  1. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian

kerja bersama.

Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja/buruh mengalami perubahan sehingga berbunyi:

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Bisa terlihat perbedaannya bahwa dalam UU Cipta Kerja kali ini pekerja tidak mendapatkan uang penggantian perumahan serta pengobatan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

JAMINAN SOSIAL

1) Jaminan Pensiun

UU Ketenagakerjaan Pasal 167 ayat (5) menyatakan bahwa pengusaha yang tidak mengikutsertakan pekerja yang terkena PHK karena usia pensiun pada program pensiun wajib memberikan uang pesangon sebesar 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka pengusaha dapat terkena sanksi pidana.

Namun RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan sanksi pidana bagi perusahaan tersebut, yakni pasal 184 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.”

2) Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Dalam Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menambahkan program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial. Hal ini tercantum dalam Pasal 46A RUU Cipta Kerja.

Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP memiliki manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan berasal dari modal awal pemerintah; rekomposisi iuran program jaminan sosial; dan/atau dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Dalam UU Ketenagakerjaan perusahaan boleh melakukan PHK dengan 9 alasan yang meliputi:

  1. perusahaan bangkrut, 
  2. perusahaan tutup karena merugi, 
  3. perubahan status perusahaan, 
  4. pekerja melanggar perjanjian kerja, 
  5. pekerja melakukan kesalahan berat, 
  6. pekerja memasuki usia pensiun, 
  7. pekerja mengundurkan diri, 
  8. pekerja meninggal dunia, serta 
  9. pekerja mangkir.

Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah menambah poin alasan perusahaan boleh melakukan PHK dalam Pasal 154 A. Beberapa alasan tersebut di antaranya: 

  1. perusahaan melakukan efisiensi; 
  2. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, dan;
  3. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
  4. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja; pekerja mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan; 
  5. pekerja buruh memasuki usia pensiun; dan 
  6. pekerja meninggal.

STATUS KERJA 

Pasal 59 UU Ketenagakerjaan mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun. Sementara dalam Omnibus Law Cipta Kerjar, berubah menjadi:
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

Masa kerja bagi pekerja PKWT tidak lagi tertulis di Undang-undang Cipta Kerja dan lebih berfokus kepada jenis pekerjaan apa yang bisa distatuskan dengan PKWT. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.

WAKTU LEMBUR

Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu. Sedangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja waktu kerja lembur diperpanjang menjadi maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

TENAGA KERJA ASING

Berdasarkan Pasal 42 Ayat (1) Bab Ketenagakerjaan, setiap pemberi kerja tetap wajib memiliki rencana penggunaan TKA. kurang lebih mirip dengan di UU Ketenagakerjaan, dalam UU Cipta Kerja ini juga mengungkit pengecualian pemilikan rencana penggunaan TKA terhadap jenis jabatan dan posisi tertentu.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja asing diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Kesimpulan

Rancangan Undang-undang yang beberapa waktu lalu sudah diserahkan kepada Presiden R.I. untuk ditanda tangan memang mengundang banyak sekali polemik di antara masyarakat, khususnya kalangan pekerja/buruh.

Penting sekali bagi HRD untuk melindungi karyawannya dalam situasi yang penuh ketidakpastian seperti sekarang. Dua hal yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan menjaga komunikasi sebaik mungkin dengan karyawan; dan satu lagi dengan tetap update informasi terbaru yang hanya didapat dari sumber terpercaya.

Comment