Quiet Quitting Bukan Fenomena Baru, Bagaimana Menyikapinya? | | HRPODS

Quiet Quitting Bukan Fenomena Baru, Bagaimana Menyikapinya?

quiet quitting

Quiet quitting telah menjadi perhatian publik sejak beberapa bulan ini. 

Istilah quiet quitting terdengar seperti fenomena karyawan resign. Ini bukan sekadar mengundurkan diri atau melawan budaya hustle culture.

Quiet quitting bukan hal baru di dunia kerja. Namun, kekuatan TikTok membawa quiet quitting menjadi bahan perbincangan kalangan akademisi, career expert, media, hingga warganet.

HRNote pun ikut membahasnya.

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting tak bisa didefinisikan secara harfiah, yakni berhenti diam-diam. Bukan, ini bukan tentang karyawan resign, meskipun efeknya bisa mengarah ke sana. 

Secara garis besar, quiet quitting adalah bekerja sesuai kompensasi. Definisi lainnya bisa berupa bekerja berdasarkan job description.

Quiet quitting menjadi bahan pembicaraan warganet pasca pemilik akun @zkchillin mengunggah video pada Juli 2022. Narasi video menyebutkan bahwa: 

Anda tidak langsung berhenti dari pekerjaan, tetapi Anda berhenti dari gagasan untuk bekerja lebih. Anda masih melakukan tugas, tetapi tidak lagi menganut mentalitas budaya hustle culture bahwa pekerjaan harus menjadi hidup Anda, kenyataannya tidak, dan nilai sebagai pribadi tidak ditentukan oleh kerja keras Anda.

Narasi tersebut ramai dibicarakan oleh warganet. Tak ketinggalan media, perusahaan riset, dan ahli di bidang karier pun angkat bicara.

Jim Harter, Chief Scientist Gallup, menuliskan quiet quitting dapat menjadi masalah. Pasalnya, sebagian besar pekerjaan saat ini memerlukan upaya ekstra untuk berkolaborasi dengan rekan kerja dan memenuhi kebutuhan pelanggan.

Menurut laporan Gallup, penurunan employee engagement berkontribusi dalam quiet quitting di Amerika Serikat. Sejak paruh kedua 2021 hingga 2022, tingkat employee engagement menurun secara bertahap.

Diketahui bahwa karyawan yang engage sebesar 32 persen di 2022, tahun sebelumnya 36 persen. Sedangkan karyawan yang tidak engage meningkat, dari 16 persen menjadi 18 persen untuk periode 2021 dan 2022.

Gallup mencatat terdapat penurunan secara keseluruhan. Penyebabnya adalah:

  • Mengabaikan kinerja karyawan.
  • Tak ada kejelasan harapan kerja.
  • Tak ada kesempatan untuk belajar dan tumbuh.
  • Tidak terhubung dengan misi atau tujuan perusahaan.
  • Kepuasan terhadap perusahaan menurun.

Karyawan yang tidak terpenuhi kebutuhan terhadap tempat kerjanya cenderung tidak terlibat aktif. Kebanyakan dari mereka berusia di bawah 35 tahun.

Ia akan lebih vokal di media sosial, di mana warganet lebih memperhatikan dan memberikan komentar serta tanda suka. Bahkan, ia sudah mulai mencari pekerjaan lain.

Quiet Quitting Bukan Fenomena Baru

Gagasan quiet quitting sudah eksis sejak dulu. Saat ini, pengemasannya berbeda, sehingga terdengar lebih kekinian.

Anthony Klotz, profesor di School of Management University of College London, menjelaskan quite quitting berasal dari generasi beberapa dekade sebelumnya. Generasi tersebut melabeli dengan nama coasting, disengagement, neglect, dan withdrawal.

Fenomena coasting dkk. memperlihatkan karyawan dalam mode bertahan karena berbagai alasan. Salah satunya karena perlambatan ekonomi dan pasar tenaga kerja yang melemah.

Jadi, mereka bekerja melampaui waktu maupun tugas. Hal itu berpengaruh terhadap mental karena mereka mengalami stress. Mereka terjebak dalam perangkap pekerjaan dan mengundurkan diri bukan solusi tepat.

Cohort effect

Fenomena bernama cohort effect merupakan kondisi seluruh populasi mengalami peristiwa yang mengubah hidup pada saat yang sama.

Di sejarah AS, cohort effect dapat terlihat ketika perang dunia dan great depression. Itu adalah peristiwa penting yang mengubah pandangan dan pola pikir banyak orang di suatu tempat.

Pandemi COVID-19

Klotz percaya bahwa quiet quitting bergema karena pandemi. Tak ketinggalan, percakapan seputar kesehatan mental semakin meningkat.

Dalam banyak kasus, karyawan yang menjalankan quiet quitting sedang melakukan pencegahan terhadap kejenuhan bekerja

Karena ada tipe karyawan yang datang lebih awal, membantu rekan kerja yang terkadang mengorbankan tugasnya, bekerja sebanyak mungkin, hingga pulang paling larut. Jadi, quiet quitting karena pola kerja.  

Di sisi lain, pandemi COVID-19 telah memberikan waktu kepada karyawan untuk merefleksi prioritas dan mempertimbangkan sisi kemanusiaan yang rapuh.

Tak sedikit karyawan yang semakin sadar terhadap kesejahteraan dan merawat diri sendiri dengan lebih baik. Jadi, mereka bekerja sesuai tugas dan waktu, lalu mendedikasikan waktu lain untuk kehidupan pribadi yang lebih bermakna. 

Quiet quitting terjadi pada semua angkatan kerja. Namun perlu dicatat, pekerja yang lebih tua–yang telah mencurahkan waktu dan energi ke dalam pekerjaan–masih menganggap bahwa pekerja muda harus fokus untuk memulai karier mereka dengan bekerja keras.

Batasan Antara Pekerjaan dan Kehidupan Personal

Meski bukan fenomena baru, menurut Klotz, quiet quitting mengarah pada perubahan yang lebih luas. 

Quiet quitting mendorong seseorang membuat batasan antara kehidupan personal dan pekerjaan. Selain menginginkan karier, pekerja juga berharap memiliki ruang bagi keluarga, teman, dan hobi. 

Gemma (25), pekerja di London, melakukan quiet quitting dari pekerjaannya yang memiliki tekanan tinggi dan budaya perusahaan yang tak menghargai kinerjanya.

Ketika membatasi kehidupan kerjanya, ia mengembangkan pekerjaan sampingan. Ia belajar merajut beberapa bulan, lalu menjual desainnya secara daring. 

Gemma puas dengan proses tersebut. Bahkan ia menjadikan bisnis itu sebagai fokus utamanya di masa mendatang. Kini, ia merasa lebih sedikit stress dan cemas tentang pekerjaan.

Cara Mendeteksi Quiet Quitting

quiet quitting

Steve Pemberton, CHRO Workhuman, berpendapat bahwa quiet quitting adalah sinyal bahwa perusahaan tidak mendorong motivasi karyawan mereka. Alhasil, karyawan akan memberikan kinerja setara kompensasi yang mereka dapatkan.

Apakah kondisi ini akan dibiarkan saja? Tim HR perlu bertindak untuk mendeteksi perilaku karyawan.

CEO Awareness Technologies Elizabeth Harz menyatakan sistem pemantauan karyawan dapat mendeteksi perilaku quiet quitting. Mulai dari mendeteksi perubahan waktu kerja, volume kerja, pembagian waktu produktif dan tidak produktif, serta nada komunikasi.

Selain itu, cara mendeteksi lainnya adalah melakukan survei anonim. Hal itu dikatakan oleh Adam Weber, Senior Vice President of Community 15Five, perusahaan penyedia solusi kinerja karyawan.

Menurutnya, ketika karyawan harus menjawab bagaimana perasaan mereka tentang pekerjaan, mereka akan menjawab dengan jujur. Hal itu bisa sedikit melegakan, karena mereka mencurahkan kegundahannya.

4 Cara Menyikapi Quiet Quitting

Memang, teknologi dan survei dapat mendeteksi quiet quitting di perusahaan. Setelah itu, apa yang harus dilakukan oleh HR? 

1) Merancang employee experience

Jason Averbook, CEO dan Pendiri Leapgen, menyarankan agar perusahaan merancang employee experience agar karyawan dapat fokus dan meningkatkan produktivitas. Hal ini dapat menyikapi quiet quitting.

2) Mendengarkan karyawan

Jangan anggap remeh saat karyawan mencurahkan unek-uneknya. HR perlu mendengarkan karyawan, baik one-one-one meeting maupun curhat.

Langkah ini memungkinkan HR mengidentifikasi motivasi serta kemungkinan karyawan melakukan quiet quitting. Jadi, Anda dapat membantu permasalahan karyawan.

Mendengarkan karyawan juga menjadi cara perusahaan menghargai dan mendukung kinerja mereka.

3) Menumbuhkan budaya kerja 

Penting bagi perusahaan untuk menciptakan dan menumbuhkan budaya kerja positif. Dalam arti, budaya yang membuat karyawan tetap terlibat dan termotivasi untuk mencapai tujuan perusahaan.

Misalnya, mendorong kolaborasi antar tim, inovasi, bersosialisasi, hingga berdiskusi dengan karyawan tentang hal-hal yang dapat menciptakan budaya kerja positif.

4) Mendorong keterlibatan manajer

Pemimpin senior perlu melatih kembali manajer untuk lebih agile menghadapi perubahan. 

Manajer juga harus mengenal anggota timnya. Jadi, ia perlu belajar bagaimana berkomunikasi untuk membantu karyawan mengeluarkan perasaan terpendam tentang pekerjaan dan memahami situasi hidup, kekuatan, dan tujuan mereka.

Selain itu, manajer perlu menciptakan akuntabilitas untuk kinerja individu, kolaborasi tim, dan nilai pelanggan, sehingga karyawan melihat bagaimana mereka berkontribusi pada tujuan organisasi secara keseluruhan.

Quiet Quitting Vs. Quiet Firing

Selain fenomena quiet quitting, ada pula quiet firing. Sebenarnya, keberadaannya pun sudah lama. Tanpa sadar, perusahaan telah melakukan quiet firing selama bertahun-tahun.

Quiet firing terjadi ketika pemimpin tidak melihat kinerja atau potensi tinggi dari seorang karyawan tetapi tidak berinvestasi pada learning and development dan tidak melibatkan karyawan.

Dengan kata lain, praktik quiet firing tak akan memecat karyawan, tetapi perusahaan juga tidak akan mendorong perbaikan karyawan.

Penutup 

Jelas, quiet quitting dan quiet firing berdampak negatif terhadap pertumbuhan perusahaan. Karena keduanya menunjukkan bahwa perusahaan memiliki manajemen buruk.

Tak heran, jika HR harus menyelesaikan pekerjaan rumah secara berkesinambungan. Tim dapat berfokus dalam employee wellbeing, sense of ownership, interaksi sosial, dan keamanan psikologis yang relevan dengan kondisi terkini.

Comment