Pentingkah peraturan media sosial di tempat kerja? Jika penting, apakah perusahaan Anda telah memiliki peraturan tersebut?
Bila belum memilikinya, Anda bersama manajemen perlu mempertimbangkan untuk membuatnya. Karena media sosial mempunyai dua sisi, baik dan buruk.
Sisi baiknya, media sosial merupakan wadah bagi seseorang untuk menginformasikan kabar terkini, memamerkan hasil karya, hingga mengeluarkan unek-uneknya.
Sisi sebaliknya, unggahan foto, video, atau pernyataan seseorang dapat menuai kontroversi. Hal tersebut tak hanya memperburuk citra dirinya, tetapi juga tempat bekerja.
Di sisi bisnis, hal itu jelas merugikan karena memperburuk citra dan memengaruhi produk perusahaan. Untuk mengantisipasi hal itu, pimpinan perusahaan, HR, dan manajemen wajib memiliki peraturan karyawan tentang media sosial.
Apa itu Peraturan Media Sosial?
Peraturan media sosial adalah petunjuk atau kaidah bagi seluruh karyawan dan/atau jajaran pemimpin dalam berperilaku di media sosial. Perilaku tersebut menulis pernyataan dan mengunggah konten berupa foto, foto teksi, video, serta penggunaan fiturnya di media sosial.
Tujuan membuat peraturan ini untuk melindungi reputasi perusahaan sekaligus membuat panduan jelas kepada karyawan untuk memilah informasi yang dirahasiakan maupun dibagikan di media sosial.
Dalam pembuatannya, perusahaan harus menetapkan peraturan yang jelas, dapat dipahami, tak membatasi kebebasan berpendapat, serta diperbarui secara berkala. Selain itu, perusahaan juga harus bisa memberikan contoh dan saran konten yang positif, serta menanggapi kritikan tajam dari warganet.
Pentingnya Memiliki Peraturan Media Sosial di Tempat Kerja
Pada November 2016, Pandu Wijaya, pegawai kontrak PT Adhi Karya, menuai kritik atas responnya di Twitter atas kicauan ulama Nahdlatul Ulama Mustofa Bisri atau Gus Mus.
Gus Mus menyoroti rencana salat Jumat di jalan raya. Hal itu berkaitan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI yang berencana melakukan salat Jumat di jalan protokol Jakarta pada 2 Desember 2016.
Awalnya, Gus Mus menuliskan dalam akun Twitter-nya, “Kalau benar, wah dalam sejarah Islam sejak zaman Rasullullah SAW baru kali ini ada bid’ah sedemikian besar. Dunia Islam pasti heran” pada 23 November 2016.
Respon Pandu terhadap pernyataan Gus Mus adalah: “Dulu gk ada aspal Gus di padang pasir, wahyu pertama tentang shalat jumat jga saat Rasullullah hijrah ke Madinah. Bid’ah ndasmu!”.
Tak lama, banyak warganet yang mengkritik keras Pandu karena dianggap tak sopan dalam merespon kicauan Gus Mus. Lalu kritik warganet merembet ke tempat kerja Pandu, PT Adhi Karya, dan menuntut perusahaan untuk memecat dirinya.
Presiden Komisaris PT Adhi Karya, saat itu dijabat oleh, Fadjroel Rachman meminta maaf karena respon salah satu karyawannya yang tak pantas tersebut. Gus Mus pun memaafkan dan meminta perusahaan agar tidak memecat Pandu.
Pandu bersama ibunya juga menemui Ketua Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin di Rembang, Jawa tengah, dan meminta maaf atas perbuatannya di Twitter.
Karena perbuatannya, Pandu mendapatkan surat peringatan ketiga (SP3) dari perusahaan. Karyawan yang menerima SP3 berarti ia telah melakukan pelanggaran berat, sehingga merugikan reputasi perusahaan.
Kasus di atas merupakan sinyal bagi HR dan manajemen perusahaan untuk menyusun peraturan media sosial. Memang, masalahnya terkesan sepele, yaitu pernyataan di media sosial.
Namun peristiwa tersebut berdampak besar bagi perusahaan, seperti reputasi negatif, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan rendah (misal penjualan menurun), hingga menuai protes dari stakeholder serta investor.
Bila perusahaan memiliki peraturan, keuntungannya adalah:
Melindungi reputasi perusahaan
Hal ini jelas, bahwa peraturan media sosial di tempat kerja untuk melindungi reputasi perusahaan. Peraturan tersebut merupakan pertahanan pertama perusahaan dalam mengurangi risiko, baik bagi pimpinan maupun karyawan.
Peraturan yang terstruktur baik akan menentukan apa yang pantas dan tidak pantas bagi karyawan untuk mengunggah konten tentang perusahaan di media sosial mereka.
Menciptakan brand advocate
Brand Advocate adalah seseorang yang merasa puas terhadap pelayanan jasa dan/atau kualitas produk suatu jenama dan ia merekomendasikan jenama tersebut tanpa bayaran atau insentif.
Peraturan media sosial di tempat kerja ialah kesempatan perusahaan untuk mendidik karyawan terlibat dengan pelanggan sekaligus mendorong mereka untuk menggunakan media sosial guna menyebarluaskan berita perusahaan. Langkah ini cukup efektif dalam meningkatkan brand awareness. Misal meminta mereka mengunggah konten perusahaan di akun pribadi.
Merespon pelanggaran peraturan
Peraturan media sosial membantu perusahaan dalam mengantisipasi penyimpangan dan mengingatkan karyawan tentang konsekuensi dari penyimpangan tersebut. Jadi jika ada karyawan yang membuat reputasi perusahaan negatif di media sosial, perusahaan bisa langsung meresponnya dan menerapkan hukuman yang tercantum dalam peraturan.
Media rekrutmen
Saat ini, banyak perusahaan memiliki akun media sosial untuk memberitahukan kegiatan mereka. Salah satunya adalah rekrutmen atau info lowongan pekerjaan.
Ya, perusahaan memanfaatkan media sosialnya untuk memperoleh kandidat terbaik. Kami percaya bahwa praktisi HR dan marketing akan semakin bertanggung jawab dalam mengelola akun media sosial perusahaan.
Cara Membuat Peraturan Media Sosial di Tempat Kerja
Jika perusahaan belum memiliki peraturan media sosial, sebaiknya Anda mulai membuatnya. Bagaimana cara membuatnya dan mencakup apa saja peraturannya?
Menetapkan tujuan
Sebelum membuat peraturan apapun, sebaiknya Anda dan tim menetapkan tujuan. Misalnya, peraturan media sosial di tempat kerja bertujuan melindungi reputasi jenama dan produk perusahaan.
Komunikasikan kepada seluruh karyawan bahwa peraturan ini untuk menghindari masalah, yang mungkin akan muncul di kemudian hari akibat penggunaan media sosial yang tidak hati-hati. Baik karyawan yang membuat kesalahan di akun pribadinya maupun akun perusahaan.
Kebijakan informasi
Setelah itu, Anda dan tim harus menetapkan kebijakan informasi mengenai rahasia perusahaan, yaitu:
- Hindari mengunggah data perusahaan (data karyawan, keuangan, dan data pekerjaan lainnya), rencana perusahaan, foto proyek, dan hal-hal terkait di media sosial dan blog.
- Hindari membuat konten di media sosial dan blog yang menyinggung, memfitnah, dan/atau menghina kepada rekan kerja, klien, mitra, seseorang, maupun kelompok lain.
- Untuk menghindari kesalahpahaman, masing-masing karyawan menyatakan bahwa konten dan pendapat di media sosial milik pribadi dan tidak mewakili perusahaan atau membuat disclaimer.
- Perusahaan memiliki panduan menjawab pertanyaan atau kritikan warganet yang disampaikan pada akun milik perusahaan di media sosial.
- Perusahaan harus mempunyai hukuman atau konsekuensi jika karyawan melakukan pelanggaran.
Konten bertanggung jawab
Dukung karyawan untuk memberikan konten bertanggung jawab. Jika memungkinkan, berikan karyawan workshop mengenai peraturan di media sosial dengan narasumber berpengalaman.
Sosialisasi dan tanggapan karyawan
Setelah membuat peraturan media sosial di tempat kerja, lakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan agar mereka mengetahuinya dan tidak melakukan pelanggaran. Pastikan tim Anda terbuka dengan tanggapan atau masukan mereka.
Perusahaan dapat berkonsultasi tentang peraturan ini dengan konsultan hukum, pakar informasi dan teknologi, dan ahli media sosial.
Sesuaikan dengan undang-undang
Sesuaikan peraturan media sosial dengan undang-undang yang berlaku. Dalam hal ini adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan memperbarui peraturan secara berkala.
Ajak karyawan untuk terlibat
Membangun reputasi positif perusahaan dapat dilakukan di media sosial. Oleh karena itu, libatkan para karyawan dalam setiap kegiatan perusahaan.
Misal mengunggah kampanye produk baru di media sosial pribadi, mengajak teman (di luar kantor) untuk menceritakan produk yang digunakan di akun perusahaan, atau berbagi pengalaman bekerja di perusahaan (ditulis di media sosial maupun blog).
Apakah Peraturan Membatasi Kebebasan Berpendapat?
Wajar, jika tim HR dan manajemen melindungi reputasi perusahaan. Karena reputasi akan memengaruhi pandangan sekaligus keputusan konsumen dalam menggunakan produk maupun jasa perusahaan.
Namun apakah peraturan tentang media sosial membatasi kebebasan berpendapat?
Menurut Abang Edwin, praktisi online community management, hubungan karyawan dan perusahaan bersifat mutual dan saling menguntungkan, sehingga penggunaan media sosial harus disepakati bersama, mengingat dampak yang bisa terjadi bisa mempengaruhi kedua belah pihak.
Abang Edwin mengatakan perusahaan wajib melindungi merek dagang dan nama baiknya. Hal konyol adalah jika karyawan yang mereka gaji justru menyerang perusahaan di media sosial.
Berdasarkan UU ITE Nomor 11/2008, pasal 27 (3), setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Namun Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) Damar Juniarto mengatakan bahwa pasal tersebut dapat digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis. Bahkan pasal ini sering digunakan untuk menuntut pidana warganet yang mengkritik pihak tertentu melalui dunia maya.
Penutup
Peraturan media sosial di tempat kerja dapat dibuat berdasarkan budaya perusahaan dan sifat bisnis. Namun pastikan setiap peraturan harus jelas dan ringkas dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua karyawan.
Comment