THR atau tunjangan hari raya telah mengalami perjalanan panjang.
Awalnya, THR hanya diberikan kepada pegawai negeri sipil (PNS) di kepemimpinan kabinet Soekiman Wirjosandjojo, era Presiden Soekarno, pada 1951. Dua tahun berselang, organisasi buruh mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan bahwa buruh berhak memperoleh THR.
Kini, semua pekerja berhak atas THR. Bahkan setiap tahun, pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengimbau kepada pengusaha untuk memberikan THR sesuai regulasi.
Dalam artikel ini, kami akan membahas tentang imbauan Kemnaker tentang THR 2022 dan asal-usul tunjangan hari raya keagamaan.
THR dan Imbauan Kementerian Ketenagakerjaan
Tunjangan Hari Raya atau THR merupakan pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan/pekerja/buruh sebelum hari raya keagamaan.
Hari raya keagamaan adalah Idulfitri bagi karyawan beragama Islam; Natal bagi mereka yang beragama Kristen, Katolik, dan Kristen Protestan; Nyepi buat yang beragama Hindu; Waisak untuk yang beragama Buddha, Imlek bagi penganut Konghucu.
Belum lama ini, Kemnaker mengimbau pengusaha untuk segera memberikan THR 2022 kepada karyawan. Pembayaran THR wajib dibayar tunai atau tidak boleh dicicil.
Hal tersebut sejalan dengan Surat Edaran (SE) Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 bagi pekerja/buruh di perusahaan.
Surat edaran menegaskan bahwa karyawan yang berhak mendapatkan THR bukan yang berstatus tetap, tetapi juga pegawai kontrak, outsourcing, honorer, hingga buruh harian lepas.
Dalam akun @Kemnaker, 10 April 2022, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengimbau perusahaan yang tumbuh positif dan profitnya bagus agar memberikan THR lebih dari satu bulan gaji kepada karyawannya.
Tujuannya, agar keluarga karyawan dapat merayakan hari raya dengan hidangan lebih baik sekaligus menambah daya beli mereka.
Di sisi pengusaha, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Ketenagakerjaan Antonius J. Supit menyambut baik imbauan pemerintah.
Ia mengatakan tidak semua pengusaha memberikan THR melebihi regulasi. Pada dasarnya, pengusaha akan memenuhi THR sesuai ketentuan normatif. Jika ada kelebihan itu bagus, tetapi juga harus memperhitungkan jika terjadi kesulitan.
Regulasi Tentang THR
Ida juga mengatakan pihaknya telah mengembalikan besaran THR ke regulasi semula, yakni:
- Pembayaran THR sebesar satu bulan gaji untuk karyawan yang bekerja lebih dari 12 bulan.
- Pembayaran THR proporsional bagi karyawan yang bekerja kurang dari 12 bulan.
Pada 2020, ketika pandemi melumpuhkan dunia usaha, pemerintah memberikan kelonggaran ke perusahaan.
Jadi, perusahaan yang tidak mampu bayar THR dalam waktu ditentukan untuk berdialog dengan karyawan. Tujuannya, kesepakatan pembayaran THR dilakukan secara bertahap demi kelangsungan usaha.
Peraturan THR
Sekarang, kelonggaran 2020 sudah tidak berlaku. Regulasi pembayaran THR mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan.
Karyawan yang berhak mendapatkan THR
Karyawan yang berhak mendapatkan THR adalah:
- Karyawan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang memiliki masa kerja satu bulan secara terus-menerus atau lebih.
- Karyawan berdasarkan PKWTT yang di-PHK oleh perusahaan terhitung sejak H-30 hari sebelum hari raya keagamaan.
- Karyawan yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut dan dari perusahaan lama belum mendapatkan THR.
- Karyawan yang mengundurkan diri pun berhak menerima THR, asal masih dalam tenggang waktu 30 hari dan sudah bekerja lebih dari satu tahun.
Sanksi dan denda
Bila perusahaan terlambat atau tidak membayar THR, maka pemerintah akan mengenai sanksi kepada perusahaan. Rincian sanksinya adalah:
- Jika terlambat membayar THR, perusahaan harus membayar denda sebesar 5 persen dari total THR yang harus dibayar.
- Jika tidak membayar THR, perusahaan akan mendapatkan teguran tertulis; pembatasan kegiatan usaha; penghentian sementara, sebagian, atau seluruh alat produksi; dan pembekuan kegiatan usaha.
Posko THR
Kemnaker juga menyediakan ruang pengaduan atau konsultasi tentang pembayaran THR melalui https://poskothr.kemnaker.go.id.
Jika perusahaan tidak atau terlambat membayar THR, maka pekerja/buruh bisa mengadukannya ke pemerintah di laman tersebut atau ke Disnaker provinsi, kabupaten, atau kota.
Lika-liku THR di Indonesia
THR tidak muncul tiba-tiba. THR memiliki perjalanan berliku di negara ini. THR “lahir” dari kondisi ekonomi Indonesia yang sedang tidak bagus.
Dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), Jafar Suryomenggolo menuliskan latar belakang kemunculan THR karena kaum buruh mengalami kemiskinan. Hidup mereka sehari-hari sangat sulit dan penghasilan tak ada peningkatan. Padahal mereka membutuhkan banyak biaya, termasuk untuk hari raya.
Pemberian THR ke PNS
Pada 1951, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemberian THR kepada pamong praja atau saat ini dikenal dengan pegawai negeri sipil (PNS). Ini adalah program Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo di kepemimpinan Presiden Soekarno.
Pemberian THR bertujuan agar kebutuhan pangan masyarakat terpenuhi serta ekonomi tetap bergerak. Waktu itu, berbentuk beras dan uang tunai sekitar Rp125 – Rp200. Sekarang, uang tersebut setara dengan Rp1,1 juta – Rp1,75 juta.
Pemberian itu mengandung unsur politis. Karena pemerintah ingin PNS mendukung kabinet saat itu. Namun pemberian THR menuai protes dari kelompok buruh pada 1952. Mereka merasa tidak adil jika penerima THR hanya PNS saja.
Pergerakan organisasi buruh
Jafar menuliskan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), organisasi buruh terbesar masa itu teguh memperjuangkan kesejahteraan buruh. Salah satunya THR bagi kaum buruh.
Dalam Sidang Dewan Nasional II pada Maret 1953 di Jakarta, SOBSI, mendesak pemerintah untuk memberikan THR bagi semua buruh sebesar satu bulan gaji kotor.
Organisasi beranggapan bahwa hal itu akan membuat buruh merasa tenteram. Meski pemerintah tidak langsung memenuhi tuntutan organisasi, tetapi pemerintah mengeluarkan kebijakan berhubungan dengan THR.
Melalui Surat Edaran nomor 3676/54 dari Menteri Perburuhan S.M. Abidin, Kabinet Ali Sastroamidjojo I, pemerintah meredam pergerakan buruh. Surat edaran dari 1955 hingga 1958 menuliskan hal sama dan tidak bisa menenangkan pergerakan buruh dan serikat buruh.
Isi surat edaran yakni buruh memperoleh hadiah lebaran sebesar seperduabelas dari upah yang diterima dalam masa antara lebaran sebelumnya dan yang akan datang, sekurang-kurangnya Rp50 dan sebanyak-banyaknya Rp300.
THR menjadi hak buruh
Desakan buruh mulai memperlihatkan hasil. Ahem Erningpraja sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961.
Kebijakan menyebutkan pengusaha wajib membayar THR kepada buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya tiga bulan kerja, tetapi jumlahnya belum sebulan gaji kotor.
Menurut Jafar, kebijakan itu adalah langkah besar bagi perjuangan serikat buruh. Kini, semua pekerja berhak memperoleh THR keagamaan.
Penutup
Dalam proses pembayaran THR, perusahaan memerlukan tim HR dan keuangan untuk mewujudkan kesejahteraan karyawan.
Tim HR dapat mengawal pembayaran THR ke karyawan sesuai ketentuan. Di sisi lain, tim HR juga menjadi sumber informasi bagi karyawan yang akan bertanya seputar THR, libur hari raya, kebijakan manajemen, hingga masalah yang berhubungan dengan organisasi.
Comment