Work-life Balance, Definisi Dan Faktor yang Memengaruhinya | | HRPODS

Work-life Balance, Definisi Dan Faktor yang Memengaruhinya

Perbincangan mengenai work-life balance menyeruak dengan cepat akhir-akhir ini. Apalagi ketika banyak perusahaan mulai menerapkan pola kerja hybrid dan work from home yang memungkinkan karyawan kerja tanpa datang ke kantor.

Di kalangan para pekerja, work-life balance seolah goal sakral yang mendefinisikan arti keseimbangan dan kesempurnaan aktualisasi diri. Berdedikasi penuh namun tak lupa kehidupan pribadi. Mementingkan ‘rumah’, namun tetap bertanggung jawab pada pekerjaan.

Perbincangan tentang topik ini tidak lepas dari kebiasaan dan lingkungan kerja—yang sudah jadi rahasia umum—yang seolah-olah menuntut pekerja untuk mendedikasikan hidup dan loyalitasnya 100% untuk perusahaan.

Bahkan tak sedikit yang terang-terangan memang mengeksploitasi karyawan.

Namun terlepas dari praktik perusahaan yang memang patut dihentikan, perusahaan juga memerlukan pekerja untuk menunjukkan performa yang baik agar fungsi tiap divisi berjalan efektif.

Apakah mungkin work-life balance yang diekspektasikan oleh pencari kerja menemukan titik temu dengan apa yang diharapkan perusahaan?

Definisi work-life balance

Jika membahas apa pengertiannya, maka secara sederhana, work-life balance adalah tingkat prioritas antara aktivitas (kehidupan) pribadi dan profesional dalam kehidupan seseorang. Work-life balance juga tentang seberapa banyak seseorang membawa pekerjaan pulang ke rumah.

Namun sebenarnya, konsep work-life balance tidak muncul ke permukaan begitu saja tanpa pemicu. Ada sejarah panjang lintas generasi yang erat berkaitan dengan kondisi sosio-ekonomi pada masa di tiap-tiap generasi.

Tiap-tiap generasi jelas memiliki cara pandang yang berbeda terhadap etos dan prioritas kerja.

Generasi baby boomer, misalnya, hidup pada masa-masa sulit di tengah perang dan situasi politik serta ekonomi yang tidak stabil. Mencari sumber penghidupan amatlah sulit pada masa itu.

Mereka yang lahir pada masa baby boomer, barangkali tidak memikirkan jenjang karir, apalagi keseimbangan antara kehidupan profesional dengan kehidupan pribadi. Mereka tidak terlalu memikirkan kesehatan psikis.

Sebab keadaan ekonomi saat itu tidak memungkinkan mereka untuk menginginkan keseimbangan hidup, alih-alih, mereka justru ingin hidup dengan perekonomian yang stabil.

Berbeda lagi dengan generasi yang lahir sesudahnya, yakni generasi X, yang lahir dan tumbuh besar menyaksikan orang tuanya (baby boomer) kerja keras dengan jam kantor yang panjang.

Generasi X umumnya lebih mengerti pentingnya work-life balance dibanding baby boomers, sebab mereka secara langsung merasakan akibat pola kerja yang buruk dari orang tuanya.

Kemudian generasi millenial yang kini mendominasi demografi tenaga kerja di dunia hingga beberapa tahun mendatang. Mereka tumbuh besar dalam keluarga dengan perekonomian yang stabil secara rata-rata, sehingga mereka memandang bekerja hanya sebatas ‘satu bagian dalam hidup’.

Mereka mengerti mengapa mereka butuh bekerja, tapi di saat yang bersamaan, mereka pun paham hingga batasan mana urusan pekerjaan boleh mengganggu kehidupan pribadi mereka.

Generasi milenial lebih melek kesehatan psikis, juga mengerti bagaimana lingkungan sehat sebaiknya tercipta di perusahaan demi kebutuhan psikis karyawan di dalamnya. Sehingga membuat mereka memaknai work-life balance lebih ‘sakral’ dibanding generasi-generasi sebelumnya.

Mengapa Work-life Balance Penting?

Topik mengenai work-life balance kadang terdengar mengerikan, khususnya bagi kalangan manajer yang berasal dari generasi X.

Pemilik usaha tentu menginginkan profit sebesar-besarnya, bahkan kalau bisa, dengan kerugian sekecil-kecilnya.

Maka mereka seringkali menuntut standar kinerja yang kelewat tinggi kepada kalangan karyawan. Apalagi jika mereka berasal dari generasi terdahulu yang lumrah saja menomorsatukan pekerjaan di atas segala-galanya.

Padahal jika ditelisik lebih dalam, lingkungan kerja yang penuh tekanan, jam kerja yang terlalu panjang, justru akan berisiko tinggi dan menghasilkan kinerja yang tidak berkelanjutan.

Menerapkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi nyatanya membawa manfaat besar bagi perusahaan.

Karyawan akan merasa lebih bahagia dan mood yang baik akan membuat karyawan bekerja lebih produktif dengan senang hati. Ini fakta umum yang Anda tentu pernah merasakan.

Selain itu, produktivitas karyawan juga dapat terjaga dalam jangka waktu panjang. Work-life balance menghindarkan karyawan dari rasa lelah kerja yang ekstrem yang sudah pasti akan berdampak buruk pada kinerjanya.

Apa yang terjadi jika karyawan merasa lelah luar biasa sampai-sampai cuti tidak lagi mampu mengompensasi rasa penatnya? Ia akan mengajukan resign. Bayangkan jika fenomena burnout ini terjadi pada banyak karyawan sekaligus?

Selain itu, work-life balance juga menjaga tingkat kesejahteraan karyawan, baik secara mental maupun fisik. Tidak perlu dipungkiri lagi, pola kerja yang buruk meninggalkan jejak pada tubuh Anda.

Bisnis perusahaan Anda memang butuh kinerja yang baik, namun jangan lupakan bahwa karyawan bukanlah mesin.

Anda membutuhkan karyawan dengan jasmani sehat agar workforce dalam perusahaan Anda berjalan efektif. Dan karyawan membutuhkan keseimbangan yang tepat antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya untuk menjaga kesehatannya.

Tak sekali dua kali kita pernah membaca cerita di sosial media mengenai kematian seseorang di usia yang sungguh muda, dan penyebabnya adalah keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi yang sangat buruk.

Faktor yang Mempengaruhi Work-life Balance

Ada banyak hal yang mempengaruhi level work-life balance yang diraih seseorang di lingkungan kerjanya. Berikut adalah tiga faktor utama yang mesti Anda perhatikan:

Menghubungi karyawan di luar jam kerja

Ini adalah hal yang boleh dibilang sering kali dikeluhkan para karyawan. Mereka umumnya masih dapat memaklumi jika ada hal-hal urgent yang tak mungkin diabaikan atau ditunda yang membutuhkan mereka untuk siaga saat itu juga.

Namun, seringkali pesan singkat atau telepon di luar jam kerja itu berujung pada atasan menuntut karyawan untuk mengerjakan pekerjaan tambahan saat itu juga.

Karyawan mau tak mau menurut dan terpaksa menghabiskan waktu yang mestinya digunakan untuk beristirahat, justru lagi-lagi untuk pekerjaan kantor.

Sekali dua kali hal ini terjadi dalam periode tertentu mungkin masih bisa dimaklumi. Namun, jika terjadi hampir setiap minggu?

Management issue

Pekerjaan yang mesti digarap di luar jam kerja adalah indikasi masalah dalam manajemen perusahaan Anda.

Ada lini yang kurang efektif dan efisien memanfaatkan waktu dan sumber daya, sehingga departemen lain atau karyawan lain mesti terkena imbasnya.

Divisi-divisi beserta seluruh personel di dalamnya bergerak menjalankan fungsi dan tugas yang saling berkaitan satu sama lain. Jika salah satu kurang efektif, akan mengakibatkan loss pada tugas departemen lain.

Pekerjaan yang mestinya dapat selesai hari ini, bisa mundur esok hari karena salah satu rantai divisi tidak memenuhi tugasnya.

Jarak rumah-kantor jauh

Jarak tempuh yang jauh pun turut mempengaruhi kesehatan mental dan fisik karyawan, yang pada akhirnya, juga mempengaruhi tingkat keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan.

Bayangkan jika karyawan mesti menghabiskan waktu dua jam di jalan untuk menuju kantor? Karyawan yang mestinya memulai hari dengan stamina segar, malah merasa penat begitu sampai kantor.

Pada mulanya mungkin karyawan mampu berkompromi dengan jarak. Namun lagi-lagi, fisik dan mental seseorang tidak mengenal kompromi. Jika Anda sudah terlanjur letih berkepanjangan, pada akhirnya Anda akan menyerah juga.

Di samping ketiga faktor utama itu, ada faktor-faktor lain yang juga perlu Anda pertimbangkan:

  • Aturan kerja yang terlalu ketat
  • Beban kerja yang terlampau besar
  • Lingkungan kerja yang mengancam, tidak ramah
  • Tekanan deadline yang berlebihan
  • Keluarga karyawan yang kurang mendukung pekerjaan karyawan
  • Stigma kultural
  • Standar patriarkis

Work-life balance vs Work-life integrity

Sekarang munculah istilah baru, yakni work-life integrity. Jika work-life balance adalah pakem yang menghendaki keseimbangan antara kehidupan profesional dan personal, maka work-life integrity adalah peleburan keduanya.

Work-life integrity diartikan sebagai peleburan antara kehidupan profesional dan personal,  tapi dengan titik temu yang memungkinkan Anda berkompromi terhadap satu sama lain. Sedangkan work-life balance cenderung memisahkan kehidupan profesional dan personal.

Istilah ini mungkin belum dikenal luas di kalangan para pekerja. Namun, dengan pertumbuhan jumlah perusahaan yang mulai menerapkan hybrid working dan full-remote working, bukan tak mungkin topik ini akan muncul ke permukaan di masa mendatang.

Mengapa pergeseran standar ini berubah?

Rebecca Mannis, spesialis pembelajaran di Ivy Prep Learning Center, berpendapat bahwa ‘keseimbangan’ hampir mustahil tercapai sempurna dalam dunia kerja yang serba jarak jauh.

“Keseimbangan artinya kesempurnaan dan itu tidak realistis. Maka dari itu jika work-life balance tidak tercapai, ada rasa frustasi dan seseorang bisa merasa gagal,” kata dia.

Dengan setting lingkungan kerja yang saat ini mulai bergerak dari mobilitas tinggi menuju fleksibilitas tinggi, rasa-rasanya hampir sulit melihat batas jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Work-life balance umumnya menjadi bahan perbincangan di kalangan karyawan yang awalnya bekerja di kantor selama delapan jam. Sehingga ada kurun waktu yang memang mesti dihabiskan di kantor dan untuk mengurus urusan kantor.

Sedangkan karyawan remote working tidak memiliki pola kerja seperti itu. Mereka bekerja bisa di mana saja dan cenderung lebih bebas meskipun jam kerja telah dipatok.

Oleh karena itu, wacana mengenai work-life integrity mulai muncul belakang ini.

Work-life integrity bukan berarti Anda mesti mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk kantor. Melainkan, Anda menemukan titik temu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sehingga Anda dapat menentukan sendiri kapan Anda bersedia mengerjakan tugas ekstra.

Anda bisa mengerjakan pekerjaan di sela-sela waktu pribadi Anda, sesuai dengan kesanggupan dan ketersediaan waktu Anda.

Apa yang Bisa Dilakukan untuk Mencapai Work-life Balance?

Ada banyak cara yang bisa Anda lakukan sebagai HRD untuk memacu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di perusahaan Anda.

Sebagian besar memang berkaitan dengan memberikan kesempatan karyawan untuk istirahat melalui jatah libur yang tersedia di kantor.

1. Buat batasan antara pekerjaan dan rumah

Kadang-kadang Anda memang tergoda untuk mengecek email, memastikan semua pekerjaan telah rampung sempurna, atau sebatas mengecek progres secara berkala ketika Anda sudah di rumah.

Pasanglah batasan yang jelas, jam berapa Anda boleh memikirkan pekerjaan, jam berapa Anda mesti fokus pada pekerjaan. Jika perlu, gunakanlah dua handphone yang berbeda untuk tiap urusan.

2. Bimbing karyawan untuk memasang goal dan menaati target

Anda dapat mendorong karyawan untuk memasang target-target jangka pendek untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan mintalah mereka untuk benar-benar taat pada target yang mereka buat sendiri.

Sehingga, karyawan dapat berkomitmen dengan dirinya sendiri, dan Anda dapat memastikan alur kerja yang efektif dan terhindar dari potensi loss.

3. Manfaatkan ketersediaan waktu libur/luang

Ada banyak waktu cuti tersedia, arahkan karyawan untuk mengambil hak cutinya secara berkala. Tak jarang, justru karyawan yang seringkali lupa atas jatah cutinya, dan malah menumpuk jatah cuti hingga bertahun-tahun.

Biarkan juga karyawan mengambil waktu libur di luar jatah cuti berbayar, jika masih dalam batas wajar. Hak cuti tahunan yang didapat karyawan di Indonesia terpotong banyak oleh libur bersama lebaran.

Sehingga, boleh jadi karyawan ingin mengambil waktu libur di luar periode libur bersama.

4. Work from home & remote working

Untuk beberapa posisi yang tidak membutuhkan kehadiran fisik di tempat kerja, Anda boleh mempertimbangkan opsi WFH dan remote working untuk karyawan yang eligible.

Biarkan mereka memilih, apakah mau tetap datang ke kantor? Ataukah mau bekerja dari luar kantor saja?

Namun pastikan karyawan tak melanggar kewajiban-kewajiban yang mesti ia jalankan selama bekerja di luar.

5. Sediakan ruang khusus serba guna

Jika karyawan diharuskan untuk berada di kantor, biarkan ia bekerja di tempat lain selain mejanya sendiri. Suasana yang berbeda sedikit banyak akan mempengaruhi produktivitas.

Jika memungkinkan, buatlah common room yang bisa digunakan secara umum untuk fungsi apa pun.

6. Dorong karyawan untuk mengatur waktu

Menerapkan time management yang baik memungkinkan karyawan untuk bekerja secara efektif dalam jam kerja, sehingga mereka dapat pulang tanpa sisa pekerjaan di kantor.

7. Mencari feedback dari karyawan

Anda dapat menyebar kuesioner tentang ekspektasi work-life balance kepada karyawan untuk mengetahui apa yang mereka inginkan, apa masukan dari mereka yang bisa diambil dan diterapkan?

Penutup

Bagi sebagian orang, work-life balance terdengar muluk-muluk dan tidak masuk akal. Namun perlu diingat, bahwa ketahanan fisik dan mental seseorang berbeda dengan lainnya.

Faktor yang mempengaruhi stres pada tiap individu pun berbeda. Maka ekspektasi seorang karyawan pada keseimbangan pekerjaan dan kehidupan pribadinya pun bakal berbeda-beda.

Perusahaan juga perlu mengingat bahwa karyawan bukan mesin, tidak bisa direparasi dengan cepat agar berfungsi kembali dengan performa 100%. Mengabaikan kesejahteraan karyawan artinya Anda menempatkan keberlanjutan perusahaan dalam risiko.

Sebab karyawan yang merasa tidak puas dengan suasana kerja yang Anda rancang, akan berpotensi membawa kerugian besar bagi Anda.

Comment