Hybrid atau Kantor: Sistem Kerja yang Cocok Bagi Perusahaan | | HRPODS

Hybrid atau Kantor: Sistem Kerja yang Cocok Bagi Perusahaan

Setelah 18 bulan lebih work from home (WFH), banyak perusahaan sektor nonesensial mendorong para karyawan untuk kembali bekerja dari kantor. Karena level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan kasus COVID-19 cenderung menurun.

Begitu pula dengan vaksinasi di Indonesia yang masih berlanjut. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, cakupan vaksinasi dosis pertama sebesar 64,61% dan dosis kedua sebesar 42,91%. Banyak perusahaan memberikan vaksin COVID-19 (jalur vaksin gotong royong) kepada karyawan maupun meminta karyawan memperoleh vaksin secara pribadi.

Dengan kondisi tersebut, perusahaan mengharapkan karyawan siap kembali bekerja dari kantor. Meskipun mengajak mereka ngantor tidaklah mudah, karena mereka memiliki preferensi masing-masing.

Sedangkan perusahaan esensial, seperti perbankan dan konstruksi, mereka lebih cepat kembali ke kantor setelah pemerintah memberikan lampu hijau dengan berbagai persyaratan.

Sistem kerja seperti apa yang cocok bagi perusahaan? Hybrid atau kantor? Sebelum memutuskan, ada baiknya manajemen mempertimbangkan beberapa faktor mengenai sistem kerja hybrid atau kantor.

Bekerja Hybrid Vs. Kantor

Pandemi COVID-19 membuat organisasi bertransformasi, baik dari sisi bisnis maupun pengelolaan tenaga kerja. Salah satu bentuk transformasinya adalah penerapan WFH.

Namun sistem tersebut tak lepas dari perdebatan. Karena tak sedikit karyawan merasa “terjebak” antara menyelesaikan pekerjaan atau mengatur urusan domestik. Setelah itu, muncul diskusi tentang karyawan burnout dan work-life balance.

“Tidak peduli apa yang saya lakukan, saya tidak bisa maju. Saya ketinggalan email, pekerjaan, piring, cucian, dan lainnya. Saya masih merasa sulit untuk memahami bahwa satu tahun penuh telah berlalu,” ujar salah satu karyawan yang menjadi responden penelitian Gallup.

Di Indonesia, mulai akhir Oktober hingga awal November 2021, banyak daerah berstatus PPKM level 1. Seiring penurunan level PPKM dan peningkatan vaksinasi, perusahaan “membuka” pintu kantornya.

Manajemen berharap para karyawan siap kembali bekerja dari kantor. Dengan kata lain, sejak pandemi perusahaan nonesensial telah mengubah sistem kerja. Mulai dari WFH, hybrid, hingga kantor, meski demikian ada pula yang menerapkan hybrid.

Colleen McCreary, Chief People, Places, and Publicity Officer di Credit Karma, mengatakan perusahaan perlu memikirkan pendekatan berbeda mengenai sistem kerja. Karena berbagai industri telah bergeser ketika pandemi.

Gap antara pimpinan dan karyawan

Survei McKinsey menunjukkan adanya gap antara pimpinan dan karyawan mengenai sistem kerjaLebih dari tiga perempat level eksekutif menghargai bahwa WFH sangat efektif, tetapi mereka menginginkan karyawan inti kembali ke kantor tiga hari atau lebih per minggu.

Walaupun mereka ingin sekali karyawan kembali bekerja dari kantor dan menerapkan sistem kerja lebih fleksibel serta mempertahankan cara kerja baru (ketika pandemi melanda).

Sedangkan karyawan yang mengikuti survei banyak yang mengaku bingung mengenai sistem kerja. Pasalnya, tahun lalu penuh dengan ambiguitas dan kecemasan.

CEO WeWork Sandeep Mathrani mengatakan karyawan yang sangat terlibat dengan perusahaan ingin ke kantor setidaknya dua hingga tiga kali dan mereka yang paling tidak terlibat sangat nyaman WFH. Jamie Dimon CEO JP Morgan Chase berpendapat ‘Done with’ terhadap pertemuan di Zoom.

Sebaliknya, Jack Dorsey selaku CEO Twitter menyatakan karyawan sudah WFH lebih dari setahun. Facebook pun demikian, mereka mengumumkan bahwa karyawan dapat meminta bekerja dari jarak jauh, meski pandemi sudah usai sekalipun.

Pada Mei 2021, Google telah membuka kantornya untuk para karyawan. Namun sebelumnya, Google meminta mereka untuk membekali diri dengan vaksin COVID-19. Perusahaan raksasa teknologi itu mengatur 60% karyawan bekerja dari kantor (selama beberapa hari dalam seminggu), 20% bekerja di kantor baru, dan 20% bekerja dari jarak jauh. Bagi karyawan yang memilih WFH penuh, perusahaan akan memotong gaji mereka.

Pengambilan keputusan di tengah situasi tidak pasti merupakan tantangan bagi pembuat kebijakan maupun manajemen perusahaan.

Di luar sana, ada perusahaan yang menetapkan sistem kerja hybrid dan tak sedikit yang mendorong karyawan untuk ngantor lagi. Namun ada pula yang mendesain ulang sistem kerja yang sesuai nilai dan bisnis perusahaan.

Mendesain ulang sistem kerja

Mendesain ulang sistem kerja tidaklah mudah bagi manajemen perusahaan. Karena hal itu termasuk pembuatan kebijakan baru yang membutuhkan proses kompleks. Jika perusahaan ingin melakukannya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Anna Gurun, Associate Director HSM Advisory, firma konsultasi yang berfokus dalam masa depan pekerjaan, menjelaskan pentingnya perusahaan memahami apa arti menjadi produktif serta memperhatikan elemen-elemen seperti energi, fokus, koordinasi, dan kolaborasi karyawan ketika pandemi. Perhatikan pula tugas karyawan untuk memberikan keadilan kepada mereka.

Pastikan pembuat kebijakan memahami elemen tersebut dan menentukan tujuan dalam penerapan kebijakan baru. Karena jika tidak paham dan hanya mengandalkan asumsi, perusahaan belum siap mendesain ulang sistem kerja.

Penentu Sistem Kerja: Manajemen Vs. Karyawan

Siapa penentu sistem kerja? Manajemen yang memiliki andil membuat kebijakan atau karyawan sebagai penggerak bisnis?

Dalam studi Gallup, diketahui bahwa petinggi HR menganggap keterlibatan karyawan meningkat ketika bekerja di rumah karena pandemi, padahal tanpa perencanaan waktu atau strategi. Studi lebih lanjut menunjukkan karyawan menginginkan pendekatan kerja hybrid ketika dunia mulai pulih dari pandemi.

Tidak seperti hasil studi Gallup. Nicholas Bloom, profesor ekonomi di Stanford University yang telah meneliti WFH selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa penentu sistem kerja adalah manajemen perusahaan.

Berdasarkan penelitian Bloom, organisasi harus menetapkan kebijakan seragam untuk semua karyawannya atau tim tertentu dengan pengecualian. Dengan kata lain, perusahaan tidak boleh membiarkan karyawan memutuskan sistem kerjanya. Kenapa demikian? Bloom menjelaskan alasannya.

  • Pekerja konsisten memilih Senin dan Jumat sebagai hari WFH mereka. Menurut Bloom, hal itu akan menjadi masalah bagi perusahaan yang ingin mengurangi jumlah karyawan di kantor pada waktu tertentu.
  • Sistem kerja campuran antara karyawan office in-groups dan home out-groups akan berisiko. Karena saat rapat, karyawan yang bekerja dari rumah kemungkinan dikucilkan dari obrolan daripada mereka yang bekerja dari kantor.
  • Sistem kerja campuran dapat merusak keragaman. Karena pekerja perempuan, orang kulit hitam, orang Asia, karyawan dengan anak di bawah 12 tahun, dan karyawan difabel memiliki preferensi untuk WFH dibanding grup lain.

Pertimbangkan 7 Faktor Ini Sebelum Menentukan Bekerja Hybrid atau Kantor

Sistem kerja dapat berdampak pada kinerja karyawan. Selanjutnya bisa berpengaruh terhadap performa dan kelangsungan perusahaan ke depan. Oleh sebab itu, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan tujuh faktor ini sebelum menentukan sistem kerja hybrid atau kantor.

1. Kesehatan dan keselamatan kerja

Pandemi memaksa banyak perusahaan untuk membayar pengeluaran ekstra untuk kesehatan dan keselamatan karyawan. Saat membuka kantor bagi karyawan, manajemen harus menerapkan protokol kesehatan, seperti menyediakan cairan disinfektan, masker, atau layanan swab test.

Selain itu, manajemen juga mengatur tempat duduk agar karyawan tetap menjalankan physical distancing, memperbaiki ventilasi ruangan, memberikan karyawan vaksin COVID-19, dan memperhatikan employee wellbeing.

2. Jenis pekerjaan

Kita harus mengakui bahwa tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah

Beberapa jenis pekerjaan di industri perbankan, kesehatan, dan transportasi mengharuskan para karyawan (posisi tertentu masih bisa WFH) untuk hadir di lokasi kerja. Misal petugas kesehatan, resepsionis, dan security rumah sakit harus WFO, tetapi karyawan pemasaran dan HR menjalankan WFH.

Meski pekerjaan mereka tidak berhubungan erat, tetapi ada beberapa hal saling berkaitan. Sebut saja HR menyampaikan peraturan manajemen kepada semua karyawan atau HR menyampaikan kendala dari karyawan ke atasan.

Agar komunikasi mereka terjalin baik, manajemen perlu membuat sistem kerja yang jelas bagi kedua kelompok, seperti melengkapi karyawan dengan perangkat lunak atau peralatan tertentu bagi karyawan WFH. Sehingga kerjasama antar karyawan WFO dan WFH berlangsung baik.

3. Preferensi komunikasi

Sebagai HR, bagaimana Anda melihat gaya komunikasi antara pimpinan dan karyawan? Apakah gaya komunikasi mereka harus tatap muka atau fleksibel? Jika fleksibel, apakah komunikasi daring mereka berdampak positif terhadap kinerja?

Bekerja dari kantor mendorong karyawan untuk bekerja sama dengan tim atau divisi lain, memiliki pengalaman kerja lebih menyenangkan, dan tidak merasa kesepian. Meskipun ada pula karyawan yang memiliki preferensi bekerja dari rumah atau tidak berinteraksi dengan banyak orang  karena lebih nyaman.

Jika Anda menemukan kondisi seperti itu, tak ada salahnya membuat kegiatan daring yang membangun kekompakan antar tim. Contohnya menyelenggarakan sharing session dan permainan daring setiap dua kali dalam seminggu.

4. Peraturan tambahan

Jika diperlukan untuk mendukung sistem kerja baru, baik hybrid atau kantor, Anda bisa membuat peraturan tambahan. Misal bekerja dari rumah membuat sejumlah karyawan overtime.

Untuk mengatasinya, HR perlu membuat peraturan baru, seperti dilarang membicarakan pekerjaan dan mengirimkan email sebelum pukul 09.00 dan setelah 18.00. Peraturan itu untuk mencegah karyawan burnout sekaligus memperhatikan kebutuhannya untuk istirahat.

5. Kemajuan karier

Sebuah penelitian memperlihatkan karyawan yang bekerja tatap muka (di kantor) lebih mungkin untuk dipromosikan. Karena mereka bisa berjejaring dan bertemu dengan rekan kerja, atasan, hingga klien.

Jika perusahaan menerapkan sistem hybrid, Loran Nordgren, profesor manajemen dan organisasi di Kellogg Business School di Northwestern University, Amerika, menyarankan perusahaan perlu menjadwal karyawan yang WFO dan WFH.

Jika tidak, karyawan yang berorientasi terhadap kemajuan karier akan datang dan bekerja dari kantor. Bila level PPKM bertambah, bukan tak mungkin pemerintah memperingatkan atau memberikan sanksi kepada perusahaan. Karena perusahaan dianggap tidak mampu membatasi kegiatan bisnis.

6. Prioritas personal

Penentu sistem kerja ada di tangan di manajemen. Namun ada baiknya HR bertanya kepada karyawan untuk meminta umpan balik mengenai penerapan sistem kerja serta prioritas personal mereka.

Karena HR perlu mengetahui prioritas karyawan yang berhubungan terhadap kinerja dan kendala yang mereka hadapi. Seperti karyawan yang memiliki balita atau karyawan yang harus menjaga orang tua ekstra ketat saat pandemi.

7. Berdasarkan Produktivitas

Dalam memutuskan sistem kerja, manajemen harus melihat produktivitas karyawan sekaligus kinerja perusahaan secara keseluruhan berdasarkan data

Menurut studi Vodafone, 75% bisnis di seluruh dunia telah mengenalkan konsep kerja fleksibel dan kinerja tinggi karyawan pun meningkat. Alih-alih membatasi aktivitas bisnis pada jam kerja dan berfokus pada lokasi, memberikan lingkungan kerja yang sesuai memungkinkan karyawan bekerja dengan baik untuk mencapai target.

Penutup

Pada akhirnya, perusahaan memiliki sistem kerja ideal masing-masing berdasarkan budaya organisasi, jenis pekerjaan dan bisnis, wajib memperhatikan kesehatan dan keselamatan karyawan, serta mematuhi peraturan dari pemerintah.

Di samping itu, perusahaan yang mengubah sistem kerja perlu mempunyai kemampuan beradaptasi. Baik adaptasi terhadap perubahan zaman dan peralihan gaya komunikasi. Dan tak ketinggalan mengedepankan transparansi untuk kelangsungan organisasi.

Comment