Resesi jadi topik hangat yang dibicarakan banyak orang menjelang akhir tahun 2022.
Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa dalam empat bulan ke depan sebagian besar negara di dunia akan menghadapi tekanan ekonomi yang cukup besar. Hal ini dipicu karena beban utang tinggi, lemahnya fundamental makro ekonomi, dan sampai stabilitas politik global.
Tekanan ekonomi dunia ini tidak hanya mengancam negara berkembang, tetapi negara maju dengan kondisi ekonomi yang mapan pun tak luput dari ancaman resesi.
Apa Itu Resesi?
Resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, meluas, dan berkepanjangan.
Aturan praktis yang populer adalah bahwa dua kuartal berturut-turut mengalami penurunan produk domestik bruto (PDB) merupakan resesi. Biasanya, resesi menghasilkan penurunan output ekonomi, permintaan konsumen, dan lapangan kerja.
Sementara itu, The Economic Times mendefinisikan resesi sebagai perlambatan atau kontraksi besar-besaran dalam kegiatan ekonomi.
Umumnya, penurunan yang signifikan dalam pengeluaran mengarah ke resesi. Bahkan dapat menciptakan kekacauan ekonomi.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, pemerintah harus melonggarkan kebijakan moneter dengan meningkatkan jumlah uang beredar. Tujuannya untuk menurunkan suku bunga.
Di sisi lain, peningkatan pengeluaran oleh pemerintah dan penurunan pajak juga dianggap sebagai jawaban yang baik untuk masalah ini.
Apa Penyebab Resesi?
Banyak teori ekonomi mencoba untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana ekonomi bisa jatuh dari tren pertumbuhan jangka panjang dan ke dalam resesi.
Teori-teori ini dapat dikategorikan secara luas berdasarkan faktor ekonomi, keuangan, atau psikologis, dengan beberapa menjembatani kesenjangan antara ini.
Faktor ekonomi
Beberapa ekonom fokus pada perubahan ekonomi-termasuk pergeseran struktural dalam industri-berkontribusi menyebabkan resesi.
Sebut saja, lonjakan harga minyak yang tajam dan berkelanjutan karena krisis geopolitik meningkatkan biaya di seluruh perekonomian.
Sedangkan, teknologi baru membuat seluruh industri menjadi usang dengan cepat. Kasus tersebut dapat menghasilkan resesi.
Faktor psikologis
Pandemi COVID-19 pada 2020 dan pembatasan kegiatan masyarakat untuk mengendalikan penyebaran virus ialah contoh dari guncangan ekonomi yang dapat memicu resesi.
Misalnya, pengurangan pembatasan aktivitas bisnis, PHK, dan pengeluran berkurang. Hal itu bisa berdampak pada kesehatan fisik dan mental masyarakat.
Faktor keuangan
Beberapa teori menjelaskan resesi bergantung pada faktor keuangan.
Biasanya, ini berfokus pada pertumbuhan kredit dan akumulasi risiko keuangan selama masa ekonomi yang baik sebelum resesi, kontraksi kredit dan suplai uang pada awal resesi, atau keduanya.
Monetarisme-yang mengaitkan resesi dengan pertumbuhan yang tidak mencukupi dalam jumlah uang beredar-adalah contoh yang baik dari jenis teori ini.
Resesi Dari Waktu Ke Waktu
1960 – 2007 Di Amerika Serikat
Terdapat 122 resesi yang terjadi di 21 negara maju selama periode 1960-2007. Meskipun ini terdengar banyak, tetapi sebenarnya resesi tidak sering terjadi.
Beberapa resesi yang pernah terjadi di AS adalah:
- The Rolling Adjustment: April 1960-Februari 1961
- The Guns and Butter: Desember 1969-November 1970
- The Oil Embargo: November 1973-Maret 1975
- The Iran and Volcker, Part 1: Januari-Juli 1980
- The Iran and Volcker, Part 2: Juli 1981-November 1982
- The Gulf War: Juli 1990-Maret 1991
- The Dot-Bomb: Maret-November 2001
- The Great Recession: Desember 2007-Juni 2009
1963 Di Indonesia
Perkiraan resesi pada tahun depan bukanlah ancaman baru bagi Indonesia. Sebelumnya, Indonesia pernah mengalami resesi sebanyak tiga kali, yaitu pada 1963, 1998, dan 2020-2021.
Pada tahun 1963, inflasi melambung sampai 119 persen sehingga menyebabkan ekonomi merosot. PDB saat ini terkontraksi mencapai 2,24 persen.
Pengeluaran rumah tangga turun 3,95 persen, ekspor impor berkurang menjadi 26,58 persen, serta investasi jatuh hingga 23,69 persen.
Pada 1965, ekonomi Indonesia mulai merangkak naik dan melonjak di 1970-an hingga 1980-an.
1998
Awal 1990, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Angka peningkatan ekonomi saat itu mencapai enam persen dengan tingkat inflasi yang berada di 5,1 persen.
Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan gagal melakukan transaksi dan pembayaran, karena nilai mata uangnya melemah.
Namun, resesi hebat terjadi pada 1998 karena krisis keuangan Asia. Krisis ini diawali dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya terhadap dolar AS di Juli 1997.
Kondisi itu menjalar ke berbagai negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jatuh. Semula hanya Rp2.500 menjadi Rp16.900 per dolar AS.
Akibatnya, Indonesia mengalami resesi sehingga melambungkan angka kemiskinan.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinin pada 1996 hanya sekitar 11,3 persen dari total penduduk. Pada 1998, angka kemiskinan ini melonjak mencapai 24,2 persen dari total penduduk.
Resesi 1998 juga membuat industri besar dan sedang berkurang. Dari 22.997 perusahaan terdaftar pada 1996 menjadi 20.422. Begitu pula dengan jumlah tenaga kerja yang anjlok mencapai 18,5 persen atau sekitar 3,53 juta orang.
2020 – 2021
PDB nasional terkontraksi selama kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021. Resesi di tahun ini dipicu dari krisis kesehatan yang melanda dunia.
Lalu lintas perdagangan berkurang drastis secara global. Dunia seolah-olah menghentikan kegiatan karena absen melakukan produksi, pariwisata, dan konsumsi atau belanja.
Dampaknya, ekonomi Indonesia langsung anjlok di kuartal I-2020 mencapai 5,32 persen persen. Berturut-turut turun pada kuartal II sebesar 3,49 persen, kuartal III sebesar 2,17 persen (yoy), dan kuartal IV sebesar 0,70 persen.
Ekonomi Indonesia baru bangkit di kuartal II-2021 dengan pertumbuhan mencapai 7,07 persen.
Selain itu, resesi 2020 – 2021 menyebabkan angka pengangguran dan kemiskinan naik. BPS mencatat jumlah penduduk yang berada di bawah angka kemiskinan mencapai 27,55 juta orang atau melonjak 10,19 persen.
Peningkatan ini adalah level double digit pertama sejak September 2017.
Dampak Resesi Pada Bisnis
Di bawah ini ada beberapa dampak paling umum yang dihadapi oleh bisnis dalam resesi:
Penjualan merosot
Dalam resesi, permintaan agregat merosot atau diterjemahkan menjadi penurunan penjualan untuk sebagian besar bisnis.
Produsen mungkin menghadapi persediaan yang membengkak, memaksa mereka untuk memperlambat produksi sampai permintaan pulih.
Memburuknya permintaan konsumen menurunkan ekspektasi pengembalian investasi untuk belanja iklan dan pemasaran dan mendorong pemotongan anggaran tersebut.
Keadaan itu dapat menyebabkan penurunan pendapatan bagi perusahaan media apakah mereka menerbitkan, menyiarkan, atau menjual iklan secara daring.
Bangkrut
Resesi dapat membengkakkan piutang perusahaan, sehingga berdampak pada naik turun rantai pasokan.
Pelanggan yang berutang uang perusahaan mungkin lebih lambat melakukan pembayaran atau gagal melakukannya sama sekali. Perusahaan mungkin, pada gilirannya, terpaksa memperlambat pembayarannya sendiri.
Sementara, perusahaan besar mungkin dapat membiayai kembali utang mereka pada tingkat bunga yang lebih rendah, karena Federal Reserve menurunkan tingkat suku bunga.
Sebagian besar bisnis menghadapi biaya layanan utang tetap yang harus dipenuhi, bahkan ketika penjualan dan laba merosot.
Pengurangan gaji dan PHK
Dampak berikutnya adalah PHK karyawan untuk memotong biaya. Terutama bagi perusahaan yang membutuhkan sedikit karyawan karena permintaan produk atau jasa yang berkurang.
Kondisi itu dapat meningkatkan produktivitas kerja, tetapi semangat kerja dapat menurun. Karena beban kerja meningkat, sementara kenaikan gaji lambat atau terjadi pemotongan gaji.
Dalam resesi berkepanjangan, tenaga kerja dan manajemen dapat menegosiasikan konsesi biaya yang diperlukan untuk menyelamatkan perusahaan dan mempertahankan pekerjaan. Termasuk pengurangan upah dan tunjangan.
Antisipasi HRD Menghadapi Resesi
Untuk menghadapi resesi 2023, perusahaan perlu membangun kapasitas untuk mengelola tekanan serta beradaptasi dengan kondisi yang berubah dengan cepat.
Adapun langkah-lankah HRD dalam menghadapi resesi tahun depan adalah:
Buat skenario ketenagakerjaan
HRD perlu membuat tiga-empat skenario ketenagakerjaan untuk mengantisipasi dampak resesi.
Misalnya skenario tenaga kerja untuk resesi jangka pendek, sedang, dan panjang, termasuk rencana posisi yang diperlukan untuk bisnis bertahan dan berkembang.
Selain itu, HRD dan manajemen harus menganalisis kemampuan bisnis dan kemungkinan memperbaruinya.
Tawarkan peran yang luas
Saat perusahaan menunda penerimaan karyawan dan melakukan PHK, maka HRD bersama manajemen dapat menawarkan peran lain kepada karyawan berpotensi.
Misalnya, memberikan peran yang lebih tinggi atau menjadikan karyawan senior mentor kepada junior. Namun sebelumnya, berikan alasan dan tujuan di balik hal tersebut. Tanyakan pula umpan balik mereka terhadap penawaran peran ini.
Cara ini akan membuat karyawan merasa dilibatkan dan dihargai oleh perusahaan.
Bangun program pelatihan
Bangun inventaris keterampilan, seperti keterampilan yang dimiliki oleh karyawan, keterampilan yang akan dibutuhkan di masa depan, dan apa saja skill gap di antara karyawan.
Setelah itu, Anda memetakan karyawan yang akan mengikuti pelatihan, upskilling, atau reskilling. Jika mereka telah mengikuti program pelatihan, lihat hasilnya dalam tiga hingga enam bulan.
Berikan employee wellbeing
Jajaran eksekutif berperan penting dalam menciptakan employee wellbeing. Pemimpin yang membina kesejahteraan karyawan dapat mendorong kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Penerapan employee wellbeing dapat berbentuk penyediaan paket makan siang, memberikan fleksibilitas kerja, menawarkan kursus pengelolaan keuangan dalam menghadapi resesi yang akan datang.
Penutup
Resesi bisa terjadi secara berkala dan mengganggu pertumbuhan ekonomi dalam periode tertentu. Keadaan itu memaksa bisnis untuk menyesuaikan diri dengan penurunan permintaan yang tiba-tiba sembari memangkas biaya operasional.
Di sisi HRD, tim perlu mendukung tujuan perusahaan dengan menyiapkan tenaga kerja yang agile untuk menghadapi badai resesi yang akan terjadi secara global di 2023.
Comment