Tidak sedikit perekrut yang berpikir bahwa dengan meng-hire seseorang yang memiliki kecocokan, atau bisa mencocokkan diri dengan perusahaan bisa meningkatkan rasio retensi karyawan. Tapi, benarkah demikian? Bukankah hal tersebut bisa menimbulkan bias pada perekrutan?
Interview HR NOTE kali ini membahas tentang kecenderungan bias pada proses rekrutmen dengan konsep pemikiran Cultural Fit, dimana perekrut biasanya mencari orang yang kategorinya sama dengan kondisi perusahaan (memiliki latar belakang sama, cara pandang sama, dll.) agar karyawan baru bisa lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan perusahaan dan meningkatkan produktivitas.
Tetapi tampaknya itu menimbulkan bias dan homogenitas pada sistem, sehingga diperlukan konsep pembandingnya, yaitu Cultural Add.
Apakah pembaca familiar dengan namanya? Jika tidak, mari simak sampai akhir topik menarik kali ini bersama dengan HR Generalist PT Reeracoen Indonesia, Dinda Lestari.

Dinda Lestari | PT Reeracoen Indonesia HR Generalis
Dinda telah bekerja di PT Reeracoen Indonesia selama lebih kurang 4 tahun dengan pengalaman sebagai internal recruitment, konsultan Career Advisor, dan sebagai HR Generalist 2 tahun belakangan ini.
Latar Belakang Konsep Cultural Fit
Terima kasih perkenalannya, Mbak Dinda. Kita langsung masuk ke topik pembahasan, ya. Di awal saya mau tanya, istilah Cultural Fit itu baru pertama kali saya dengar. Bisa ceritakan latar belakang munculnya konsep ini?
Konsep ini berawal dari perusahaan-perusahaan yang mencari cara untuk mempertahankan, dan meningkatkan rasio retensi karyawan yang mana itu adalah pekerjaan rumah dari setiap HR. Semua HR ataupun manajemen tidak ada yang suka tingkat turnover karyawan yang tinggi, bukan?
Jadi dalam perjalanannya itu, berkembanglah konsep dimana perekrut berusaha mencari orang yang mampu menyesuaikan diri kepada budaya perusahaan.
Kenapa? Karena akan semakin memudahkan HR ataupun manajemen dalam menggandeng tangan karyawan untuk bergerak sesuai visi, misi, serta value perusahaan.
Itulah yang kita sebut dengan Cultural Fit.
Tapi, kalau ditanya kenapa kesannya kurang familiar, karena konsep ini bukanlah teori. Ini hanya penyebutan suatu cara pikir yang terjadi dalam proses rekrutmen.
Di sisi lain, menurut saya perekrut umumnya juga masih belum fokus terhadap behavioral impact. Umumnya metode yang digunakan perekrut adalah metode STAR yang mana lebih mengutamakan refleksi dari pengalaman kandidat.
Sedangkan untuk menilai sesuatu yang bersifat behavior, atau untuk menilai apakah kandidat cocok bekerja di perusahaan, biasanya perekrut menggunakan guts feeling atau insting.
Inilah yang mungkin menyebabkan istilah Cultural Fit maupun Cultural Add kurang familiar bagi sebagian orang ataupun praktisi HR lainnya, meskipun secara sadar tidak sadar pasti banyak yang sudah mempraktikkannya.
Pengertian Konsep Cultural Fit & Cultural Add
Baik, jadi apa bisa dijelaskan secara penuh, konsep Cultural Fit dan Cultural Add beserta kelebihan dan kekurangannya?
Konsep Cultural Fit sekilas sudah dijelaskan di atas, ya, jadi saya langsung ke Cultural Add saja.
Menyambung perkembangan cara merekrut dengan konsep Cultural Fit, sejak 2018 lalu mulai mencuat pendapat-pendapat yang memperdebatkan konsep tersebut. Beberapa praktisi HR mengatakan bahwa kalau patokan dalam rekrutmen hanya memandang bagaimana si kandidat bisa mencocokkan diri dengan perusahaan, itu bisa mengundang disadvantage lain.
Perdebatan itulah yang membuat konsep Cultural Fit dipertanyakan, dan mulai dicari penyeimbangnya, yaitu Cultural Add.
Cultural Add memungkinkan sebuah organisasi untuk menerima culture ‘budaya’ yang dibawa oleh karyawan baru ke dalam perusahaan. Budaya di sini tidak terbatas pada budaya kerja, melainkan cara pikir, value, serta ide-ide yang keluar dari karyawan untuk menambah apa yang sudah ada di perusahaan saat ini.
Kelebihan dan Kekurangan Cultural Fit & Cultural Add
Agar lebih mudah dimengerti, mari lihat gambar di bawah.
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Gambar 1.3
Kedua konsep ini muncul sebagai tanggapan dari banyaknya penyebab karyawan resign karena “kurangnya kecocokkan dengan budaya perusahaan.”
Maka dari itu, konsep ini digunakan di tahap perekrutan, bukan saat setelah karyawan join.
Bias pada Cultural Fit, dan Akibat Buruk Lain
Apa yang dimaksud dengan bias terhadap Cultural Fit?
Tidak sedikit perekrut yang punya pemikiran seperti ini: “Bisa ga ya dia kerja sama kita? Bisa ga ya dia cocok kerja di kantor kita?”
Perekrut yang mempertimbangkan kecocokkan seorang kandidat seperti di atas, lama-lama penilaiannya menjadi subjektif/berdasarkan guts feeling. Sehingga bisa timbul 3 hal yang tidak kita inginkan:
1) salah paham
2) subjektivitas
3) kehilangan kandidat berpotensi
Supaya itu tidak terjadi, proses rekrutmen harus melibatkan identifikasi jelas tentang tujuan rekrutmen. Kalau perlu, saat perekrut meeting dengan user, sediakan base data untuk membantu dalam pengidentifikasian. Bisa juga buat checklist. Semua untuk menghindari 3 hal di atas.
Jangan sampai, karena terlalu memikirkan apakah kandidat bisa cocok dengan budaya perusahaan, menghilangkan posibilitas lain yang bisa didapat, seperti keterampilan khusus atau jam terbang yang tinggi.
Esensi Konsep Cultural Fit
Jadi agar tidak bias, kita harus memahami esensi dari Cultural Fit itu sendiri. Bagaimana penjelasannya, Mbak?
Idealnya, Cultural Fit adalah konsep dimana rekrutmen dilakukan dengan mencari orang yang memiliki core value yang sama dengan perusahaan.
Core value sendiri adalah sesuatu yang esensial dan prinsipal; yang tidak akan pernah bisa dikompromikan, baik untuk kenyamanan atau keuntungan ekonomi jangka pendek (Collins & Porras, “Built to Last : Successful Habits of Visionary Companies”, 1994).
Jadi, Cultural Fit bukan berarti mencari orang yang sama dengan karakteristik orang atau budaya perusahaan, melainkan sesuatu yang lebih esensial dan prinsipal dari sebuah organisasi/perusahaan.
Peran Cultural Add sebagai Penyeimbang
Beberapa pendapat mengatakan Cultural Add menjadi penyeimbang bagi Cultural Fit. Apa maksudnya?
Lebih tepatnya, merekrut dengan konsep Cultural Add akan mengisi kekurangan dari cara merekrut Cultural Fit, sebagaimana disebutkan beberapa kekurangan Cultural Fit di atas.
Contohnya pada kasus budaya homogen, dimana ide-ide sulit berkembang di dalam organisasi. Kalau merekrut dengan konsep Cultural Add, artinya perusahaan harus siap menerima ide baru yang inovatif dan membangun, tapi mungkin di luar comfort zone mereka.
Karena sifatnya mengisi, value baru bukan berarti menghilangkan yang lama. Sehingga bisa dibayangkan perusahaan semakin memiliki value yang lebih baik lagi dengan kombinasi tersebut.
Sebuah perusahaan Jepang yang menerima karyawan dengan pengalaman kerja di perusahaan Amerika. Secara cara pikir dan cara bekerja, terlihat perbedaan jelas, nih.
Meski begitu, kebetulan perusahaan Jepangnya memiliki budaya kerja yang cukup fleksibel, sehingga saat karyawan baru mengeluarkan ide inovatif, ide tersebut diterima dan menghasilkan perubahan baik pada sistem kerja. Kondisi ini memungkinkan saat perusahaan menerima adanya value baru tanpa menghilangkan value lama.
Cultural Add Mungkin Sulit Diterapkan. Mengapa?
Tapi Menggunakan Cultural Add pasti sulit bagi perusahaan yang menekankan budaya. Bagaimana menanggapinya?
Umumnya, perusahaan yang memang memiliki nilai budaya yang kuat, secara otomatis selalu mencari orang yang mampu menyesuaikan diri dengan perusahaan. Artinya, mereka pasti menggunakan konsep Cultural Fit dan menjauhkan diri dari konsep Cultural Add.
Sedangkan Cultural Add umumnya menjadi konsep rekrutmen di perusahaan yang terbuka pada perubahan atau penambahan nilai.
Memang betul, akan menjadi tantangan sulit untuk perusahaan yang memiliki sistem homogen dan budaya stagnan untuk terbuka dan menerima penambahan budaya baru.
Akan tetapi, jika terdapat tujuan untuk berinovasi dan stakeholder siap menerima perubahan, menjalankan rekrutmen dengan konsep Cultural Add bukannya tidak mungkin dijalankan.
Ideal adalah Kombinasi antara Cultural Fit & Cultural Add
Jadi sebaiknya baik CF & CA menjadi fokus saat rekrutmen?
Jika bicara ideal, iya. Mengombinasikan keduanya bisa menjadi cara agar perusahaan tetap mempertahankan core value, tapi tidak menutup kesempatan untuk karyawannya memberi ide inovatif agar perusahaan semakin berkembang.
User dan manajemen lain sebaiknya juga paham mengenai konsep ini, agar semakin mengoptimalkan hasil rekrutmen. Bagaimana pun, mereka yang berinteraksi langsung dengan karyawan tersebut.
Let’s say, belum tentu user atau manajemen memahami dampak baik dari dua konsep ini. Bagaimana membuat mereka paham bahwa mempertimbangan CF & CA bisa mengoptimalkan hasil rekrutmen?
Mungkin akan sulit kalau memberikan lecture tentang dua konsep ini. Yang bisa dilakukan menurut saya adalah mengombinasi timing penggunaan konsepnya. Misalnya, saat fresh graduate hiring, atau yang pengalamannya baru sedikit, akan sangat mudah untuk menerapkan Cultural Fit kepadanya.
Sedangkan untuk Cultural Add, saat proses identifikasi rekrutmen, baik perekrut dan user bisa mempertimbangkan untuk mengadakan sebuah perubahan atau inovasi dalam proses kerja, yang perlu melibatkan ide-ide baru dari lingkungan yang baru. Jika dirasa perlu, HR boleh persuasif ke user atau manajer.
Contoh: jika dirasa perlu untuk meningkatkan sales revenue ataupun membuat sistem baru, maka perlu mencari orang yang ahli di bidangnya. Dalam hal ini, kecocokan budaya menjadi penilaian nomor sekian karena perusahaan membutuhkan ide inovatif dari kandidat tersebut.
Kesimpulan
Sharing kali ini menunjukkan bahwa konsep Cultural Fit dan Cultural Add bisa membuat hasil rekrutmen menjadi lebih optimal. Hasil akhir yang diharapkan adalah peningkatan rasio retensi karyawan.
Keduanya bukan untuk diadu mana yang lebih baik, melainkan jika dikombinasi akan menciptakan kumpulan karyawan yang inovatif, lingkungan kerja yang positif, serta produktivitas kerja yang tinggi. Semua akan berdampak besar bagi pertumbuhan perusahaan.
Meskipun begitu, mungkin bagi beberapa organisasi/perusahaan masih sulit untuk menerapkannya. Karena perubahan adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan khususnya untuk tempat yang kuat nilai budayanya. Dalam hal ini, HR jangan menyerah untuk melihat dan memperjuangkan peluang untuk mendapatkan hasil rekrutmen optimal.
Comment