3 Bentuk Dukungan Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja (1) | | HRPODS

3 Bentuk Dukungan Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja (1)

Center for Disease Control and Prevention (CDC) menuliskan kesehatan mental mencakup kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial dari diri seseorang.

Hal itu mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertindak. Kesehatan mental juga membantu individu menentukan bagaimana menangani stress, berhubungan dengan orang lain, dan membuat pilihan yang sehat.

CDC pun menyatakan bahwa kesehatan mental adalah hal penting di setiap tahap kehidupan, dari seseorang masih masa kanak-kanak dan remaja hingga dewasa. Bagaimana dengan Indonesia?

Pada 2010, artikel media yang mengupas tentang kesehatan mental masih sangat minim, apalagi kesehatan mental di lingkungan kerja. Pada Maret 2016, BBC Indonesia menulis tentang cuti kesehatan mental.

Angesty Putri, M. Psi, Psikolog, CPC, mengalami hal sama. Masih melekat dalam ingatannya, sekitar 10 tahun lalu, masyarakat masih mementingkan kesehatan fisik. Mereka belum menyadari bahwa kesehatan fisik berkaitan erat dengan kesehatan mental.

Seiring berjalannya waktu, kesadaran terhadap kesehatan mental mulai didengungkan oleh lembaga yang peduli dengan mental health, psikolog, hingga figur publik. Apa penyebabnya? Bagaimana penerapan kesadaran kesehatan mental di lingkungan perusahaan? Bagaimana mengenali rekan kerja yang membutuhkan dukungan saat work from home (WFH)?

Anes –sapaan akrab Angesty Putri– menjelaskan hal tersebut kepada HR Note melalui telekonferensi pada Rabu, 22 September 2021.

Penyebab Kesehatan Mental Tak Menjadi Prioritas di Lingkungan Kerja

Saya praktik lumayan lama, jadi merasakan juga moment, mungkin 10 tahun lalu, orang-orang concern-nya masih ke kesehatan fisik. Mereka enggak notice bahwa ada kaitannya kondisi yang kita rasakan secara psikologis dengan kondisi fisik. Kesehatan fisik masih dianggap prioritas dibandingkan kesehatan mental.

Penyebabnya, pertama, informasi. Ketersediaan dan akses informasi itu berpengaruh banget. Dulu informasinya terbatas, sekarang ada gempuran informasi dari media online.

Orang-orang jadi mudah mengakses informasi tentang kesehatan mental, seperti apa itu mental health, jenisnya apa saja, seperti apa cirinya, atau pertanyaan ‘jangan-jangan yang aku rasakan ternyata berhubungan dengan kesehatan mental ya?’.

Kedua, stigma. Kalau dulu, membicarakan kondisi mental disebut gila atau baper. Kalau ke psikolog itu seolah-olah ada masalah yang gimana banget, padahal enggak juga.

Kenyataannya, orang ke psikolog itu ada yang ingin cerita saja, ingin punya temen ngobrol, ingin ada temen diskusi atau bertukar pikiran, enggak selalu mengarah ke penanganan serius. Sekarang stigma itu makin berkurang, pemahaman mental health juga makin berkembang.

Ketiga, situasi. Kalau sebelumnya mungkin sendiri-sendiri, seperti orang yang putus cinta atau cerai, itu dianggap isu personal. Orang enggak begitu notice. Tapi saat pandemi, akhirnya semua merasa stress menghadapi kejadian yang tidak terduga dan se-challenging ini.

Pandemi itu menimbulkan dampak buat orang-orang yang tadinya merasa stable, merasa oke dengan pekerjaan, keluarga, dan hidupnya, tiba-tiba ada stressor besar dan datang enggak terduga. Kita semua merasakan kondisi yang sama.

3 Bentuk Dukungan Kesehatan Mental dari Perusahaan

Sekarang awareness-nya di perusahaan sudah meningkat. Mereka sudah beranggapan bahwa kesehatan mental ini penting dan harus diperhatikan. Cuma dalam aplikasi ke HR belum rata. Maksudnya ada yang sudah punya sistem rapi sekali, tapi ada yang belum.

Pertama, perusahaan yang penanganan mental health karyawannya sudah tersistem. Misalnya mereka mengadakan screening rutin, tak hanya dengan medical check up, tapi assessment psychological screening. Jadi begitu ada yang bermasalah, HR punya alur penanganannya.

Kalau ada karyawan yang ingin konseling, dia sudah tahu harus menghubungi siapa. Karena HR sudah memiliki sistem. Umumnya, HR punya skill untuk penanganan dasar untuk masalah psikologis.

Kedua, perusahaan yang menggunakan sistem rujukan untuk penanganan mental health karyawannya. Misal ternyata masalahnya berat nih, kategorinya itu sudah butuh penanganan profesional atau psikolog, maka dirujuk ke lembaga psikologi yang sudah bekerjasama dengan perusahaan.

Ketigaperusahaan yang HR-nya sudah mampu memberikan penanganan mental health karyawan untuk jenis masalah tertentu, namun perlu juga merujuk untuk jenis masalah yang lebih berat.

Ada juga perusahaan yang tidak penanganan ada sama sekali. Isu mental dianggap masalah pribadi, belum diakomodir sama kantor secara fasilitas, insurance, dan lainnya.

Tapi kalau aware, ya, aware. Teman-teman sudah mulai aware, bahkan di kalangan pemerintahan sudah mulai banyak kegiatan kayak webinar atau sharing session tentang mental health in the workplace. Tapi aplikasinya challenging ya, enggak semua perusahaan punya sistem menyeluruh gitu.

Perusahaan tetap bisa memberikan dukungan kesehatan mental meski tak memiliki sistem

Perusahaan yang tidak memiliki sistem, tetap bisa memberikan dukungan kesehatan mental dengan cara, pertama, membangun suasana keterbukaan.

Dalam arti, terbuka untuk sharing baik masalah pekerjaan maupun masalah pribadi. Jadi orang bisa bebas bicara ketika punya masalah, dia enggak sungkan berbagi dengan rekan kerja di sekitarnya tanpa penghakiman. Tapi bukan berarti semua hal harus ceritakan, yah.

Kedua, mengedukasi leader. Mau tidak mau, HR harus mengedukasi leader dengan tanda-tanda umum masalah kesehatan mental. Kalau perusahaan atau HR belum bisa menangani karyawan bermasalah, perusahaan bisa merujuk atau kerja sama dengan pihak lain. Paling tidak, perusahaan membangun atmosfer kerja lebih baik.

Sinergi semua pihak

Untuk menumbuhkan kesadaran, sebenarnya perlu sinergi semua pihak. Top management sebagai regulator yang punya perusahaan, yang tahu arah perusahaan, dan punya kepentingan bisnis perusahaan juga perlu tahu tentang mental health.

Lalu HR yang punya sistem akan membuat alur penanganan dan mendorong leader untuk memahami anggota timnya. Enggak hanya manajer, tapi supervisor dan tim leader. Kalau di perusahaan besar atau perusahaan industri, tim leader bisa punya 300 orang anggota.

Kan enggak bisa juga HR punya sistem, tapi top management enggak dukung, ya akhirnya enggak jalan.

Penyebab Masalah Mental di Lingkungan Kerja

Berdasarkan pengalaman yang saya alami dan penelitian, penyebab masalah mental health di kantor, pertama, tekanan pekerjaan. Tekanan pekerjaan ini subyektif. Maksudnya, mungkin buat yang satu oke, enggak masalah digempur dengan load tinggi. Tapi yang satu lagi berbeda, dia enggak sanggup nge-handle semua.

Kedua, toxic environment. Maksudnya mem-bully, kompetisi enggak sehat, nyinyir, dan julid. Toxic environment berpengaruh besar, kemungkinan lebih banyak yang ngerasa enggak nyaman dengan orang daripada soal kerjaan.

Ketiga, kurang komunikasi. Ketika ada sesuatu, komunikasi minim di tempat kerja, enggak terbiasa sharing, enggak bisa ngobrol hangat, enggak punya relasi asyik satu sama lain, hal itu sebenarnya berpengaruh.

Karena orang yang memiliki masalah psikologi akan terbantu dengan sharing. Itu bisa membuatnya agak lega, sehingga masalahnya enggak berlarut-larut menjadi besar. Kalau lingkungan kerja enggak menyediakan itu, dia bisa jadi memendam masalah terus-menerus dan lama-lama bisa pecah juga.

Keempat, kebijakan dan norma yang tidak mendukung. Misalnya enggak ada sistem yang membantu karyawan untuk cerita kalau sedang punya masalah psikologi. Kalau cerita, dia bakal dibilang mental tempe atau gampang baper, jadi sistemnya enggak mendukung.

Penyebab masalah tersebut bisa membuat seseorang punya masalah psikologi berlarut-larut, kalau enggak tertangani dengan baik. Soalnya masalah psikologi enggak terlihat. Awalnya masalah kecil, kalau dibiarkan terus atau tidak di-notice, tahu-tahu jadi depresi.

Menangkap Tanda-tanda Masalah Kesehatan Mental

Sebenarnya tanda-tanda masalah mental pasti sudah ada. Karena enggak kelihatan kayak masalah fisik, jadi kita cenderung lebih mudah mengabaikan.

Kalau sakit fisik kan terasa yah, misal pinggang sakit. Kalau masalah psikologi, kadang-kadang dia naik turun. Kalau seseorang sibuk sama pekerjaan, dia agak lupa, tapi sebenarnya masalahnya belum selesai, malah bisa makin parah.

Maka dalam hal ini yang disarankan atau didorong adalah leader. Ia harus bisa aware dengan perubahan-perubahan perilaku bawahannya. Maksudnya, leader mengenali perilaku yang enggak biasa dari timnya dan enggak perlu sampai konseling juga. Perubahan tersebut adalah:

  • Perubahan perilaku yang nyata. Misal si A kalau kerja enggak pernah telat deadline, meeting selalu hadir, aktif saat presentasi, dan performanya oke selama setahun, lalu ia berubah. Ia jarang datang dan berulang –bukan karena sakit atau ada keperluan–, sering terlambat, dan terlihat tidak semangat.
  • Rasa cemas. Seseorang yang sering cemas saat harus presentasi, meeting, merasa performa kerja tidak perfect, deg-degan, bisa jadi ia memiliki masalah psikologi atau mental.
  • Letih. Individu yang merasa lesu, enggak bersemangat, low energy, dan/atau low mood, bukan berarti dia letih karena kegiatan fisik, tapi karena masalah psikologi yang sedang dihadapinya.
  • Mudah tersinggung. Jika biasanya rekan kerja kita itu santai, tapi belakangan mudah tersinggung, itu adalah tanda-tanda ia punya masalah.
  • Pola makan berubah. Tiba-tiba ia berbeda, lesu, tidak mau jajan, malas makan, atau sebaliknya.

Jadi ada beberapa perubahan yang bisa dicek oleh leader ke timnya. Walaupun belum tentu timnya ada masalah, sih. Tapi kalau konteksnya sebagai leader, ia perlu notice.

Pembicaraan akan dilanjutkan pada bagian kedua. Di bagian tersebut, Anes menjelaskan strategi WFH untuk memberikan dukungan kesehatan mental kepada para karyawannya.

Comment